SEJARAH NUSANTARA PADA ERA KERAJAAN
ISLAM
Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan
kejayaannya berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16.
Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas
perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab,
India, Persia, Tiongkok, dll.
Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat
pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku, dan Sulawesi.
Kerajaan Islam di Sumatera
Periode
tahun tepatnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan
memerlukan rujukan lebih lanjut.
Peureulak diarahkan ke
halaman ini. Untuk kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, lihat Peureulak, Aceh Timur
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia
yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara
tahun 840 sampai
dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus
untuk pembuatan kapal,
dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam
dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan
niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain
berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di
daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara
saudagar muslim dengan
perempuan setempat
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa
penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab
yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah
kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang
memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan
makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.[1]
Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun
1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada
negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa.[2]
Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan
pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri
Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu
abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291,
dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam
Perkembangan dan pergolakan
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed
Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan
keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak
pada 1 Muharram 225 H (840
M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian
dimakamkan di Paya
Meuligo, Peureulak, Aceh Timur
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan
Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke
Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang
saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya
tak ada sultan.
Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun
302 H (915 M), Sultan
Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir
pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali
ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari
golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah
meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan
Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah
dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua
bagian:
Perlak
Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah
Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal
sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh
Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim
Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun
1006.
Penggabungan dengan Samudera
Pasai
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan
politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa
negeri tetangga Peureulak:
· Putri
Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
· Putri
Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18,
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia
meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah
pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al
Malik Al-Saleh.
Daftar Sultan Perlak
Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan
menjadi dua dinasti:
dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut
daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.
Kesultanan Malaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan
yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari perebutan Palembang
oleh Majapahit.
Ibu kota
kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada penyempitan Selat
Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi
pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15
dan awal 16.
Malaka runtuh setelah ibu kotanya direbut Portugis pada 1511.
Kegemilangan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka
adalah daripada beberapa faktor yang penting. Antaranya, Parameswara telah
mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka
pada tahun 1403. Malah, salah seorang daripada sultan Melaka telah menikahi
seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat
antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Melaka. Melaka
mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan sebuah kuasa besar di dunia
untuk mengelakkan serangan Siam.
Sejarah
Parameswara pada awalnya mendirikan kerajaan
di Singapura
pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya
hijrah lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah berdiam
di ibukota baru di Melaka
pada 1403, tempat
armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti yang
diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada
kerajaan baru tersebut. [1]
Parameswara kemudian menganut agama Islam
setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada
1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan
rakyat Melaka sudah menjadi muslim. [2].
Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[1][2]
Megat Iskandar Syah memerintah selama 10
tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian
menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan
mengambil gelar Sri Parameswara Dewa
Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena
terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya
dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah
Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya
dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam yang
menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam . Namun
serangan Siam
pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik
tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan
menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk.
Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit
Selat Malaka.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada
1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah
selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud
Syah. [3]
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun
1511, saat ibu kota
kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di
bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai
pada 10
Agustus 1511 dan
berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan
dan mendirikan ibukota baru di sana .
Pada tahun 1526
Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia
wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak,
sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru
yaitu Johor.
[sunting] Daftar raja-raja
Malaka
1.
Parameswara
(1402-1414)
2.
Megat Iskandar Syah (1414-1424)
3.
Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4.
Seri Parameswara Dewa Syah(1444-1445)
5.
Sultan Mudzaffar Syah (1445-1459)
6.
Sultan Mansur Syah (1459-1477)
7.
Sultan Alauddin Riayat Syah
(1477-1488)
8.
Sultan Mahmud Syah (1488-1528)
Kesultanan Aceh
Darussalam
berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit
hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan
ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada
tanggal 8
September 1507.
Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan
militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem
pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.[1]
Sejarah
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan
oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Diawal-awal masa
pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli,
Pedir, Pasai, dan Aru.
Pada tahun 1528, Ali
Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa
hingga tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun 1568.
Masa kejayaan
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada
masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa
kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari
selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada
tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan ) serta atas
sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan
diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586,
kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada
yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini
dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat
Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung
Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya
persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan
Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan
ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka
menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah
Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin
al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniry dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj
al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak
kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di
pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau,
Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting
lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat
London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda
untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda
akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji
tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir Nopember 1871, lahirlah apa yang
disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak
itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun Batavia .
Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke
pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh
menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan
dari Soekarno
kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat
itu[rujukan?].
Perang Aceh
Perang Aceh
dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr.
Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran
kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B.
van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut
sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri
kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu
ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir
seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Sultan Aceh
Sultan Aceh merupakan
penguasa / raja dari Kesultanan Aceh,
tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar Sultan yang pernah
berkuasa di Aceh dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari Sultan Aceh.
Tradisi kesultanan
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan
Aceh
· Teungku
· Tuanku
· Pocut
· Teuku
· Cut
· Meurah
Kerajaan Malayu adalah
nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau
Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7
yang berpusat di Minanga Tamwa, dan Kerajaan
Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.
Berdasarkan letak ibu kotanya, Kerajaan Malayu
Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu Jambi, sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula
disebut dengan nama Kerajaan
Dharmasraya.
Sumber Berita Cina
Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain
diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang
P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini
hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I Tsing dalam
perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat
singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa
negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi
jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau
Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana,
kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh
Kerajaan Malayu.
Lokasi Malayu Tua
Dr. Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu
menjadi satu dengan pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi.
Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun
istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin
bahwa Palembang
adalah ibu kota
Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.
Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah
Malayu berasal dari kata Malaya
yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah
kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak
setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu
merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota
Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.
Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu
dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana
berpendapat bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwa sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan
Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwa adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten
Tebo di Provinsi Jambi).
Dikalahkan Sriwijaya
Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan
perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000
orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita penuh
kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini
merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta
Hyang.
Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak sesuai
dengan berita dalam catatan I Tsing bahwa pada tahun 671 Kerajaan Sriwijaya
sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih
sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.
Prof. Slamet Muljana yang telah
mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa,
prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Malayu oleh Sriwijaya.
Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit,
Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwa, dan meninggalkan kota itu dalam
suka cita.
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi
pada tahun 683. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat
berangkat menuju India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka,
sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh
Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu
lintas Selat
Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan
Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan
Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka
menggantikan peran Kerajaan Malayu.
Tentang Raja Chan-pi
Setelah beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akibat
serangan Rajendra Coladewa dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa
Sailendra di Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya pun berakhir. Sejak saat itu
Sriwijaya menjadi negeri jajahan Rajendra.
Dalam berita Cina
berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta
besar ke Cina yang
saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Pada zaman Dinasti Sung, istilah
San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak diketahui dengan pasti apakah putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi adalah keturunan Rajendra, yang
saat itu telah menguasai Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Sementara itu, raja Chan-pi kemungkinan besar adalah ejaan
Cina untuk istilah Jambi.
Munculnya Wangsa Mauli
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra
Coladewa telah mengakhiri kekuasaan Wangsa
Sailendra atas Pulau Sumatra dan
Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang
mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa
Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas
nama raja Mauli adalah prasasti Grahi tahun 1183. Prasasti itu
berisi perintah Maharaja Srimat
Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama
Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10
tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad
kemudian, yaitu prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini
menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca
Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara
raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa.
Arca tersebut kemudian diletakkan di kota
Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton
disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut
sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan
dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap
sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan
Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan
Kamboja. Itu
artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai
penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan
tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, karena raja Jambi pada tahun 1082
masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan
nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna
”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori
oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin
kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya,
karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua
daripada prasasti Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya
mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah
kronik
Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya
Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa
negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong,
Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan
(Kelantan),
Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta (Batak ?, Patani ?), Tan-ma-ling,
Kia-lo-hi (Kamboja),
Pa-lin-fong (Palembang),
Sin-to (Sunda), Kien-pi, Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan ?).
Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka
(Si-lan), Kamboja
(Kia-lo-hi), sampai Sunda
(Sin-to).
Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik
dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu
Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik
dengan Palembang.
Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi
bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya, daftar tersebut tidak menyebutkan
nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip Dharmasraya. Yang disebut adalah
Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi. Sementara itu, Jambi sendiri tidak
sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat tersebut terletak berjauhan.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun
1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya.
Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan
Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna
Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara
umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang
serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan
Dinasti
Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi,
seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah
Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak
pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya.
Itu artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh
Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau
Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang .
Dikalahkan Singhasari
Pada tahun 1275 raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa yang bernama Kertanagara
memutuskan untuk menguasai lalu lintas perdagangan Selat
Malaka. Tujuan utamanya ialah untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai
Khan penguasa Dinasti Yuan atau bangsa Mongol.
Menurut Nagarakretagama,
rencana tersebut semula hendak dijalankan secara damai. Akan tetapi, raja
Malayu menolak hal itu, sehingga Kertanagara terpaksa mengirim pasukan untuk
menyerang Sumatra.
Serangan tersebut terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo
Anabrang sebagai komandan.
Pasukan Kebo Anabrang mendarat dan merebut
pelabuhan Malayu di Jambi.
Mereka kemudian merebut daerah penghasil lada di Kuntu–Kampar. Dengan demikian,
kehidupan ekonomi Kerajaan Malayu berhasil dilumpuhkan. Yang terakhir, Kebo
Anabrang berhasil mengalahkan ibu kota
Malayu, yaitu Dharmasraya.
Tidak diketahui dengan pasti kapan istana
Dharmasraya jatuh ke tangan pasukan Singhasari. Prasasti Padangroco tahun 1286 hanya menyebutkan
tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai hadiah Singhasari untuk ditempatkan
di Dharmasraya. Dalam prasasti itu, Tribhuwanaraja bergelar maharaja, sedangkan
Kertanagara bergelar maharajadhiraja, sehingga terbukti kalau saat itu Sumatra telah
menjadi bawahan Jawa.
Sepasang Putri Malayu
Naskah Pararaton
dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan bahwa pasukan Kebo
Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 membawa dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga
dan Dara
Petak. Keduanya dipersembahkan kepada Raden
Wijaya menantu Kertanagara. Kertanagara sendiri telah meninggal setahun
sebelumnya.
Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia mengambil Dara Petak
sebagai istri yang kemudian melahirkan Jayanagara,
raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang
“dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Malayu
bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden
Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab
Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua
anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman
dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.
Mantrolot Warmadewa identik dengan
Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip
dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti
Padangroco tahun 1286.
Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam
pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin
yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain,
Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli
Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.
Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga (dan juga Dara Petak) adalah putri
dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir
dari permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno Mandi.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365
menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra .
Dharmasraya memang telah ditaklukkan oleh Singhasari
dan menjalin persaudaraan melalui perkawinan antara Dara Petak
dan Raden
Wijaya pada akhir abad ke-13. Namun, tidak dapat dipastikan apakah kemudian
Dharmasraya tunduk begitu saja terhadap Majapahit sebagai kelanjutan dari
Singhasari.
Dalam catatan Dinasti
Ming, negeri San-fo-tsi (atau Sumatra )
terbagi manjadi tiga dan masing-masing berusaha meminta bantuan Cina untuk lepas dari
kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut masing-masing dipimpin
oleh Seng-kia-lie-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang, dan Ma-na-cha-wu-li.
Secara berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan 1377 ketiganya mengirimkan
duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377 tentara She-po
menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu ketiga negeri di
San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.
Seng-kia-lie-yulan adalah Adityawarman
raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja
Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli raja
Dharmasraya.
Meskipun Adityawarman adalah cucu Srimat
Tribhuwanaraja, namun ia tidak memiliki hak atas takhta Dharmasraya karena ia
lahir dari Dara Jingga. Adityawarman kemudian mendirikan Kerajaan Malayapura di
Pagaruyung, sedangkan Dharmasraya dipegang oleh Maharaja Mauli, yaitu keturunan
Tribhuwanaraja lainnya.
Rupanya setelah Gajah Mada
meninggal tahun 1364,
negeri-negeri jajahan di Sumatra berusaha
untuk memerdekakan diri dengan meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina. Akan
tetapi, Maharaja
Hayam
Wuruk yang saat itu masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas
pemberontakan Pagaruyung, Palembang ,
dan Dharmasraya pada tahun 1377.
Catatan Cina menyebut bahwa setelah
pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan
nama Chiu-chiang. Menurut naskah Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama
dengan Po-lin-pang. Itu berarti, setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit
di Sumatra dijadikan satu dengan berpusat di Palembang.
Kesultanan Johor yang
terkadang disebut juga sebagai Johor-Riau
atau Johor-Riau-Lingga adalah
kerajaan yang didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah, putra sultan terakhir Malaka,
Mahmud Syah. Sebelumnya
daerah Johor-Riau merupakan bagian dari Kesultanan Malaka yang runtuh akibat
serangan Portugis
pada 1511.
Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau
mencakup wilayah Johor
sekarang, Singapura,
Kepulauan
Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.
Sebagai balas jasa atas bantuan merebut tahta
Johor Sultan Hussein Syah
mengizinkan Britania
pada 1819 untuk
mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan ditandatanganinya Traktat London tahun 1824 Kesultanan
Johor-Riau dibagi dua menjadi Kesultanan Johor, dan Kesultanan Riau-Lingga.
Pada tahun yang sama Singapura sepenuhnya berada di bawah kendali Britania.
Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1911.
Pada tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa untuk
menerima kehadiran Residen Britania. Dengan demikian Johor efektif menjadi koloni Mahkota Britania.
Raja-raja Johor
Raja-raja Kesultanan Johor-Riau (1528-1824)
1.
1528-1564: Sultan Alauddin
Riayat Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)
2.
1564-1570: Sultan Muzaffar Syah
II (Raja Muzafar/Radin Bahar)
3.
1570-1571: Sultan Abd. Jalil
Syah I (Raja Abdul Jalil)
4.
1570/71-1597: Sultan
Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)
5.
1597-1615: Sultan
Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)
6.
1615-1623: Sultan Abdullah
Ma'ayat Syah (Raja Mansur)
7.
1623-1677: Sultan Abdul Jalil
Syah III (Raja Bujang)
8.
1677-1685: Sultan Ibrahim Syah
(Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau)
9.
1685-1699: Sultan Mahmud Syah II
(Raja Mahmud)
10.
1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV
(Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)
11.
1718-1722: Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)
12.
1722-1760: Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar Johor-Riau)
13.
1760-1761: Sultan Abdul
Jalil Muazzam Syah
14.
1761: Sultan Ahmad Riayat
Syah
15.
1761-1812: Sultan Mahmud Syah III
(Raja Mahmud)
16.
1812-1819: Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)
Raja-raja Kesultanan Johor (1824-sekarang)
1.
1819-1835: Sultan Hussain Shah
(Tengku Husin/Tengku Long)
2.
1835-1877: Sultan Ali (Tengku Ali; tidak
diakui oleh Inggris)
3.
1855-1862: Raja
Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor)
4.
1862-1895: Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim
(Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar)
5.
1895-1959: Sultan
Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar
6.
1959-1981: Sultan
Ismail ibni Sultan Ibrahim
7.
1981-kini: Sultan Mahmood Iskandar
Al-Haj
Kerajaan
Islam di Jawa
- Kesultanan Demak (1500 - 1550)
Kesultanan Demak atau Kesultanan Demak Bintara adalah kesultanan Islam pertama di Jawa
yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini
sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit,
dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa
dan Indonesia
pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami
kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada
tahun 1568,
kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan
Pajang yang didirikan oleh Jaka
Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan
oleh para Walisongo.
Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari
laut dan dinamakan Bintara,
saat ini telah menjadi kota
Demak di Jawa Tengah.
Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto").
Cikal-bakal Demak
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa
surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri.
Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling
serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus
kekuasaan mengerucut pada dua adipati,[rujukan?] yaitu Raden Patah dan
Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat
dukungan dari Walisongo,
Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh
Siti Jenar.
Demak di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus
adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai
kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam
dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di
Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
Demak di bawah Sultan Trenggono
Sultan Trenggono berjasa atas penyebaran Islam
di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggono, Demak mulai menguasai
daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda
Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang
akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan
Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung
timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah,
pemuda asal Pasai (Sumatera), yang
juga menjadi menantu Sultan Trenggono. Sultan Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan
Prawoto
Kemunduran Demak
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak
berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda
Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan
Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya
Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian
menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran
Hadiri adipati Jepara,
dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam
peperangan oleh pasukan Joko Tingkir, menantu Sunan Prawoto. Joko Tingkir
memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana
ia mendirikan Kesultanan Pajang.
Kesultanan Banten berawal
ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah
barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan
Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan
Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut
sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda
Kalapa dan Cimanuk.
Sejarah
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin)
menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang
anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan
anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa
Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana
Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten
daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana
Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang
Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu
oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai
oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya
pada 12 Maret
1682, wilayah
Lampung diserahkan kepada VOC.
seperti tertera dalam surat
Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang
sedang berlabuh di Banten. Surat
itu kemudian dikuatkan dengan surat
perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli
perdagangan lada di Lampung
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah
kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad
Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini
menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal
Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[1]
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
· Maulana Yusuf 1570 - 1580
· Maulana Muhammad 1585 - 1590
· Sultan
Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640
(dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif
Makkah saat itu.[2])
· Sultan Abdul Kahar
(Sultan Haji) 1683 -
1687
· Abdul Fadhl / Sultan Yahya
(1687-1690)
· Abul Mahasin Zainul
Abidin (1690-1733)
· Muhammad Syifa Zainul
Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
· Muhammad Wasi Zainifin
(1733-1750)
· Syarifuddin
Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
· Muhammad Arif
Zainul Asyikin (1753-1773)
· Abul Mafakir
Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
· Muhyiddin Zainush
Sholihin (1799-1801)
· Muhammad Ishaq
Zainul Muttaqin (1801-1802)
· Wakil Pangeran
Natawijaya (1802-1803)
· Aliyuddin II (1803-1808)
· Wakil Pangeran
Suramanggala (1808-1809)
· Muhammad Syafiuddin
(1809-1813)
· Muhammad Rafiuddin
(1813-1820)
Kesultanan Pajang adalah
sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah
sebagai kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keraton, yang
sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan
Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Asal-usul
Sesungguhnya nama negeri Pajang sudah dikenal
sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam Wuruk
(raja Majapahit
saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang,
atau disingkat Bhre Pajang. Nama
aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari Wikramawardhana,
raja Majapahit
selanjutnya.
Dalam naskah-naskah babad, negeri Pengging
disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang sudah melegenda menyebut
Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh
bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng
berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit
dipimpin oleh Brawijaya
(raja terakhir versi naskah babad), nama Pengging muncul kembali.
Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak
Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang
pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh
penculiknya.
Atas jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya
sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara
kemudian bergelar Andayaningrat.
Kesultanan Pajang
Menurut naskah babad, Andayaningrat
gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan
Demak. Ia kemudian
digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki
Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kesultanan
Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki
Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memeberontak terhadap Demak. Putranya yang
bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka
Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai
menantu Sultan Trenggana, dan menjadi bupati Pajang
bergelar Hadiwijaya.
Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir
(daerah Salatiga),
Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Sultan
Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian tewas
dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah
itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya
namun gagal.
Dengan dukungan Ratu
Kalinyamat (bupati Jepara putri Sultan
Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Kesultanan
Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.
Perkembangan
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah
Kesultanan Pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah
saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan
Trenggana.
Pada tahun 1568 Sultan
Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas
negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya
(pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan putri Sultan
Hadiwijaya.
Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga
berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah
Dhuwur juga diambil sebagai menantu Sultan
Hadiwijaya.
Peran Wali Songo
Pada zaman Kesultanan
Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut
mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode
tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Sultan
Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus
bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan
Prawoto, raja baru pengganti Sultan
Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif,
sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik
Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak
sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai sultan. Ia juga menjadi mediator
pertemuan Sultan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur
tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Sultan
Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya
Penangsang.
Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad
adalah Sunan
Kudus. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil
menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra
mahkota, dan menggantinya dengan Arya
Pangiri.
Mungkin yang dimaksud dengan Sunan Kudus
dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus, karena Sunan Kudus
sendiri sudah meninggal tahun 1550.
Pemberontakan Mataram
Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Sultan
Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya
Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya
Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549.
Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya
tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Sultan
Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan
lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya
putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya
inilah yang sebenarnya membunuh Arya
Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin
hari semakin maju dan berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya
membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Sultan
Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan
Pajang jumlahnya lebih besar.
Keruntuhan
Sepulang dari perang, Sultan
Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra
dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya
Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya
Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya
Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran
Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran
Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya
memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan
Jipang berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran
Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran
Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya
sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang
menjadi bupati di sana
ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya
sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja
pertama bergelar Panembahan Senopati.
Daftar Raja Pajang
1.
Jaka
Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya
2.
Arya
Pangiri bergelar Sultan
Ngawantipura
3.
Pangeran
Benawa bergelar Sultan Prabuwijaya
Kesultanan Mataram adalah
kerajaan Islam di
Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang
tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa
keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta
meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
wilayah Matraman di Jakarta dan
sistem persawahan di Karawang.
Masa awal
Sutawijaya
naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya
dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya
hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan
Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah
yang terletak kira-kira di timur Kota
Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton
(tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah
ke Kotagede. Sesudah ia meninggal
(dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang
yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena
beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga
disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang
artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih
sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsang.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan
Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan
Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa.
Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur
sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta
(Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta").
Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram
lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia
digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat
(Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat
I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647),
tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan,
melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya
dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677)
ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II
(Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan
lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat
Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah
Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga
tertangkap di Batavia
lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada
masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari
1755. Pembagian
wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota
Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
· 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan
Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya
Penangsang.
· 1577 - Ki Ageng
Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
· 1584 - Ki Ageng
Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya,
putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar
"Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
· 1587 - Pasukan Kesultanan
Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung
Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
· 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya
sebagai Sultan,
bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama.
· 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan
putranya, Mas
Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal
sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu
(jawa: krapyak).
· 1613 - Mas Jolang
wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit,
kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas
Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura
beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah
1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga
Abdurrahman"
· 1645 - Sultan
Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat
I.
· 1645 - 1677 - Pertentangan dan
perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang
dimanfaatkan oleh VOC.
· 1677 - Trunajaya
merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota
dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar
Susuhunan Ing Ngalaga.
· 1681 - Pangeran Puger
diturunkan dari tahta Pleret.
· 1703 - Susuhunan
Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
· 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger
ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan
Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
· 1719 - Susuhunan Paku
Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan
Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
· 1726 - Susuhunan
Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan
Paku Buwono II.
· 1742 - Ibukota
Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
· 1743 - Dengan bantuan
VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan
luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat
oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
· 1745 - Susuhunan Paku
Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
· 1746 - Susuhunan Paku
Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta . Konflik Istana menyebabkan saudara
Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang
berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757)
dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
· 1749 - 11 Desember
Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada
VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember
Di Yogyakarta , P. Mangkubumi diproklamirkan
sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember
van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
· 1752 - Mangkubumi
berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah
pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
· 1754 - Nicolas Hartingh
menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23
September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November,
PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia
walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
· 1755 - 13 Februari
Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram
menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan
gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
· 1757 - Perpecahan
kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari
Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
· 1788 - Susuhunan Paku
Buwono III mangkat.
· 1792 - Sultan Hamengku
Buwono I wafat.
· 1795 - KGPAA Mangku
Nagara I meninggal.
· 1813 - Perpecahan
kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari
Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
· 1830 - Akhir perang
Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta
dan Surakarta
dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang
tetap antara Surakarta
dan Yogyakarta dan membagi secara permanen
Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta,
dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure
dikuasai oleh Hindia Belanda.
- Kesultanan Cirebon (sekitar abad
ke-16)
Kesultanan Cirebon adalah
sebuah kesultanan
Islam ternama di
Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam
jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa
yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah
dan Jawa
Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara
kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang
mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun
oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang
ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa
Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai
macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata
pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan
menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan
terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon .
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan
sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota
besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama
Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon . Ia mulai membuka
hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada
tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak
saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru
di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama
yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai
Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra
Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain
adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya
sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan
Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya
yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah
Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia
mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan
Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak
mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan
oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya),
sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda
Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang
ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa
pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan
kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk
pemerintahan di Cirebon .
Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang
atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji
kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon
pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama
Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian
digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan
Syarif Abdullah dari Mesir,
yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula
sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
Kesultanan Cirebon
dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan
Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda
Kelapa, dan Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan
tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan
Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan
Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun
1565.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian
diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati
melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi
menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung
dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan
Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di
Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada
calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan
Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit
Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon
selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada
tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang
bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu
Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu.
Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni
Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya
terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan
Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa
curiga sebab Cirebon
dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya).
Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon
tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya
Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung
Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram (Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit
Giriloyo, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Giriloyo, tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka
terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran
Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk
membantu Trunojoyo,
yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan
Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat
dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon
untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon,
dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan
Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun
1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon , dimana kesultanan terpecah menjadi
tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan
demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
· Sultan
Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
· Sultan
Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad
Badrudin (1677-1723)
· Pangeran
Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon
dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati
(1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan
bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota
Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan
melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu
tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon,
suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana
seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa,
maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya
berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803),
dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja
Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa
Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral
Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon
Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya
tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan,
pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada
putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin
(1803-1811).
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial
Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon , sehingga semakin surutlah peranan
dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya.
Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan
Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente
Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk
sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942,
Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah
Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang
secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia
yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia ,
Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan
pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap
menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat
masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton
Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana
Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang
berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom
berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton
Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi
konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan
Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII.
Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan
kerabat keraton tersebut.
Kerajaan
Islam di Maluku
Kerajaan Gapi atau yang
kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan
Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam
di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran
penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17.
Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat
perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya
membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi
utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh
kepulauan Marshall
di pasifik.
Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate )
mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus
dari Halmahera . Awalnya di Ternate terdapat 4
kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan
hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah –
rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab,
Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai
ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa
momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu
organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai
raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu
terpilih dan diangkat sebagai Kolano
(raja) pertama dengan gelar Baab Mashur
Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate ,
yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh
penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang
menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota
Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate
daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa
berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan
sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian
timur Indonesia
khususnya Maluku.
Organisasi kerajaan
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh
para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja
yang disebut Kolano. Mulai
pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan
syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan
menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama
menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada
jabatan Jogugu (perdana menteri)
dan Fala Raha sebagai para
penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi
tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu,
masing – masing dikepalai seorang Kimalaha.
Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal
dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya
dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan
18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji
dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur
organisasi kesultanan Ternate.
Moloku Kie Raha
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling
tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan
Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan
hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan
ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku Ternate
mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar
kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh
bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang
berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano
Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk
berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian
dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari
pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan
kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang
terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal
kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate .
Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate
telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di
Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa
Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih
diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi
memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate
ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat
dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa
langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan
menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat
Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan
melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di
Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang
pertama di Ternate . Sultan Zainal Abidin
pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri
di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan
Cengkih).
Kedatangan Portugis dan perang
saudara
Di masa pemerintahan Sultan
Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan
berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh
dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa
ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico
Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan
kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco
Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos
dagang di Ternate. Portugis datang bukan semata – mata untuk berdagang
melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di
Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate .
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat belia.
Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan
bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan
Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya,
pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran
Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugis memanfaatkan
kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu
permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung
Portugis. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan
dibunuh Portugis. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan
dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat
pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan
Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India .
Disana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate
sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun perjanjian itu ditolak
mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
Pengusiran Portugis
Perlakuan Portugis terhadap saudara –
saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugis dari
Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan
rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan
Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan
pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah
kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Tripple Alliance
untuk membendung sepak terjang Portugis di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun
mengobarkan perang pengusiran Portugis. Kedudukan Portugis kala itu sudah
sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku
mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk
menghadang Ternate . Dengan adanya Aceh dan
Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka, Portugis di Maluku
kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan
Khairun. Secara licik Gubernur Portugis, Lopez de Mesquita mengundang Sultan
Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang
datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat
Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung
kepemimpinan dan perjuangan Sultan
Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur
Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugis
meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini
merupakan kemenangan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat.
Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah
membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan
Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga
kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa
72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan
secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan
Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan
Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode
keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak
dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama
yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai
melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugis tahun 1580 mencoba menguasai
kembali Maluku dengan menyerang Ternate .
Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun
menjalin aliansi dengan Mindanao untuk
menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan
Spanyol dan dibuang ke Manila .
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda
tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang
amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal
26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai
imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di tahun 1607 pula Belanda membangun
benteng Oranje di Ternate yang
merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak
seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan
bangsawan Ternate . Diantaranya adalah pangeran
Hidayat (15?? - 1624), Raja muda Ambon yang juga
merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang
kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda
dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar .
Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda
pada sultan – sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan
peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang
kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua
kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan
bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
· Tahun
1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot
Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala
di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya
rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon
Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate
– Hitu – Makassar menggempur berbagai
kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap
dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan
Tolukabessi hingga 1646.
· Tahun
1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,
pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah
(1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti
kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot
untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio
pangeran Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah
seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate ,
pangeran Majira adalah raja muda Ambon
sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira
memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung
dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil
menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha
(1650–1655) namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali
dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan.
Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara pangeran Majira dan
Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
· Sultan
Muhammad Nurul Islam atau yang
lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori
(1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena.
Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao , namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang
maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis
perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang
dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal
7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya
menjadikan Ternate sebagai kerajaan vazal Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa
Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka
beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari
cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi
mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang
terakhir tahun 1914 Sultan Haji
Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di
wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan
Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao
dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda,
banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek,
markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta
persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil
dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji
Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya
berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no.
47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh
hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana
tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan
sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu
serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk
menghapus kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir
akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada
jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750
tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol
belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan
Drs. Hi. Mudhaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate
memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai
kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad
kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara
bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan
pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan
bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam
Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan
syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina.
Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan
pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua
kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat
Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugis tahun 1575 merupakan
kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya
almarhum Buya
Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan
barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan
Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan
menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang
berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa
pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam
tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia
dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar
terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia .
Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado
diambil dari bahasa Ternate . Bahasa Melayu –
Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara,
pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu
Hayat II kepada Raja Portugal
tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum
Lisabon – Portugal .
- Kesultanan Tidore (1110 - 1947?)
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat
di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara, Indonesia
sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16
sampai abad
ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera
selatan, Pulau
Buru, Ambon,
dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun 1521, Sultan Mansur
dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu
dengan Portugis.
Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari
pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi
salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di
bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin
(memerintah 1657-1689), Tidore berhasil
menolak pengusaan VOC
terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Kesultanan Bacan adalah
suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan,
Kepulauan
Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin
yang bersyahadat
pada tahun 1521.
Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala
suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah
lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.
Kerajaan Tanah Hitu adalah
sebuah kerajaan Islam
yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan
ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682
dengan raja pertama yang bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena
Kerajaan ini didirikan oleh Empat
Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja.
Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan
memainkan peran yang sangat penting di Maluku, disamping
melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara
mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak
tertulis didalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan
imprialisme barat ke wilayah Nusantara.
Sejarah
Hubungan dengan kerajaan lain
Kerajaan ini memiliki hubungan erat dengan
barbagai kerajaan Islam di Pulau Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan
Banten, Sunan
Giri di Jawa
Timur dan Kesultanan Gowa di Makassar
seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu
pula hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk;
semenanjung raja-raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram
Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan
Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.
Empat Perdana Hitu
Etimologi
Kata Perdana adalah asal kata dari Bahasa
Sansekerta artinya Pertama. Empat Perdana adalah empat kelompok yang
pertama datang di Tanah Hitu, pemimpin dari Empat kelompok dalam bahasa Hitu
disebut Hitu Upu Hata atau Empat Perdana Tanah Hitu.
Awal mula kedatangan
Kedatangan Empat Perdana merupakan awal
datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon.
Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku.
Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di
tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi
seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan
Valentijn.
Orang Alifuru
Orang Alifuru adalah sebutan untuk sub Ras
Melanesia yang pertama mendiami Pulau Seram dan Pulau-Pulau lain di Maluku,
adapun Alifuru berasal dari kata Alif dan kata Uru, Kata Alif adalah Abjad Arab
yang pertama sedangkan kata Uru’ berasal dari Bahasa Hitu Kuno yang artinya datang
secara perlahan maka Alifuru artinya Pertama datang.
Periode kedatangan Empat Perdana
Hitu
Kedatangan Empat Perdana itu ke Tanah Hitu
secara periodik :
1.
Pendatang Pertama
adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat) kemudian ke Nunusaku
dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tahun kedatangannya tidak tertulis.
Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
2.
Pendatang Kedua adalah
Kiyai Daud dan Kiyai Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri dengan saudara
Perempuannya bernama Nyai Mas.
o
Menurut silsilah
Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak
dari :
Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
o
Disana mereka temukan
Keramat atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu karang. Tempat itu bernama
Hatu Kursi atau Batu Kadera (Kira-Kira 1 Km dari Negeri Hitu). Peristiwa
kedatangan beliau tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan cerita turun –
temurun.
o
Perdana Tanah Hitu
Tiba di Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a) pada tahun 1440 pada malam hari,
dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete artinya hitam gelap gulita sesuai warna
alam pada malam hari.
o
Mereka tinggal disuatu
tempat yang diberi nama sama dengan asal Ibu mereka yaitu Tuban / Ama Tupan
(Negeri Tuban) yakni Dusun Ama Tupan/Aman Tupan sekarang kira-kira lima ratus
meter di belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya di Pesisir Pantai
yang bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti.
o
Perdana Pattikawa
disebut juga Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya orang yang pertama
mendirikan negerinya di Pesisir pantai, nama negeri tersebut menjadi nama soa
atau Ruma Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu.
3.
Kemudian datang lagi
Jamilu dari Kerajaan Jailolo . Tiba di Tanah Hitu pada Tahun 1465 pada waktu magrib
dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau warna merah (warna bunga)
sesuai dengan corak warna langit waktu magrib. Mendirikan negerinya bernama
Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama marganya yaitu Lating. Jamilu
disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi, Nustapi artinya Pendamai,
karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah Hitu dengan
Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau, dia juga digelari
Kapitan Hitu I.
4.
Sebagai Pendatang
terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di Tanah Hitu
pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Sholat) sore hari dalam bahasa
Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada waktu
Ashar (waktu sholat).
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
Penggabungan Empat Perdana Hitu
Oleh karena banyaknya pedagang-pegadang dari
Arab, Persia, Jawa, Melayu dan Tiongkok berdagang mencari rempah-rempah di Tanah
Hitu dan banyaknya pendatang – pendatang dari Ternate, Jalilolo, Obi, Makian
dan Seram ingin berdomisili di Tanah Hitu, maka atas gagasan Perdana Tanah
Hitu, ke Empat Perdana itu bergabung untuk membentuk suatu organisasi politik
yang kuat yaitu satu Kerajaan.
Kemudian Empat Perdana itu mendirikan negeri
yang letaknya kira-kira satu kilo meter dari Negeri Hitu (sekarang menjadi
dusun Ama Hitu/Aman Hitu) disitulah awal berdirinya Negeri Hitu yang menjadi
Pusat kegiatan kerajaan Tanah Hitu, bekasnya sampai sekarang adalah Pondasi
Mesjid. Mesjid tersebut adalah mesjid pertama di Tanah Hitu, mesjid itu bernama
Masjid Pangkat Tujuh karena
struktur pondasinya tujuh lapis. Setelah itu Empat Perdana mengadakan pertemuan
yang di sebut TATALO GURU (red: duduk guru)artinya kedudukan adat atas petunjuk
UPUHATALA (ALLAH TA’ALA-- metafor bahasa dari dewa agama Kakehang yaitu agama
pribumi bangsa seram), mereka bermusyawara untuk mengangkat pemimpin mereka,
maka dipililah salah seorang anak muda yang cerdas dari keturunan Empat Perdana
yaitu anak dari Pattituri adik kandung Perdana Pattikawa atau Perdana Tanah
Hitu yang bernama Zainal Abidin dengan Pangkatnya Abubakar Na Sidiq sebagai
Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama yang bergelar Upu Latu Sitania pada tahun
1470.
Latu Sitania terdiri dari dua kata yaitu Latu
dan Sitania,dalam bahasa Hitu Kuno Latu artinya Raja dan Sitania adalah
pembendaharaan dari kata Ile Isainyia artinya dia sendiri, maka Latu Sitania
artinya Dia sendiri seorang Raja di Tanah Hitu, dalam bahasa Indonesia modern
artinya Raja Penguasa Tunggal, sedangkan pada versi dari Hikayat Tanah Hitu
karya Imam Ridzali: latu berarti raja dan Sitania ( tanya,ite panyia) berarti
tempat mencari faedah baik dan buruk berraja.
Tujuh Negeri di Tanah Hitu
Sesudah terbentuk Negeri Hitu sebagai pusat
Kerajaan Tanah Hitu kemudian datang lagi tiga clan Alifuru untuk bergabung,
diantarannya Tomu, Hunut dan Masapal. Negeri Hitu yang mulanya hanya merupakan
gabungan empat negeri, kini menjadi gabungan dari tujuh negeri. Ketujuh negeri
ini terhimpun dalam satu tatanan adat atau satu Uli (Persekutuan) yang disebut
Uli Halawan (Persekutuan Emas), dimana Uli Halawan merupakan tingkatan Uli yang
paling tinggi dari keenam Uli Hitu (Persekutuan Hitu). Pemimpin Ketujuh negeri
dalam Uli Halawan disebut Tujuh Panggawa atau Upu Yitu. (sebutan kehormatan).
Gabungan Tujuh Negeri menjadi Negeri Hitu
diantaranya :
1.
Negeri Soupele
2.
Negeri Wapaliti
3.
Negeri Laten
4.
Negeri Olong
5.
Negeri Tomu
6.
Negeri Hunut
7.
Negeri Masapal
Sastra bertutur
Kapatah Tanah Hitu dari Uli Halawan dalam
bahasa Hitu : Upu Lihalawan-e Sopo Himi - o Hitu Upu-a Hata Tomu-a Upu-a
Telu Nusa Hu’ul Amana Lima Laina Malono Lima Pattiluhu Mata Ena Artinya Tuan
Emas Yang di Junjung (Raja Tanah Hitu) Hitu Empat Perdana Tomu Tiga Tuan (Tiga
Pemimpin Ken Tomu) Kampung Alifuru Lima Negeri Lima Keluarga dari Hoamual
(Waliulu, Wail, Ruhunussa, Nunlehu, Totowalat)
Lane atau Kapatah (Sastra bertutur) dari klen Hunut dalam bahasa Hitu yang masih hidup sampai sekarang yang menyatakan dibawah perintah Latu Hitu (Raja Hitu):
“yami he’i
lete, hei lete hunut – o
“yami he’i
lete, hei lete hunut – o
aman-e
hahu’e, aman-e hahu’e,-o
aman-e
hahu’e, aman-e hahu’e,-o
yami le di
bawah pelu-a tanah hitu-o
yami le di
bawah pelu-a tanah hitu-o
waai-ya na
silawa lete huni mua-o
waai-ya na
silawa lete huni mua-o
suli na
silai salane kutika-o
suli na
silai salane kutika-o
awal le e
jadi lete elia paunusa-o”
awal le e
jadi lete elia paunusa-o”
Artinya :
Kami dari
Hunut, Kami dari Hunut
Kami dari
Hunut, Kami dari Hunut
Negeri kami
sudah kosong, Negeri kami sudah kosong,
Negeri kami
sudah kosong, Negeri kami sudah kosong,
Kami
dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah Hitu
Kami
dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah Hitu
Orang Waai
sudah Lari Pergi Ke Hunimua
Orang Waai
sudah Lari Pergi Ke Hunimua
Orang Suli
Sampai Sekarang Belum datang bergabung
Orang Suli
Sampai Sekarang Belum datang bergabung
Kejadian
ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa
Kejadian
ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa
Pada pemerintahan Raja Mateuna’ Negeri Hitu
sebagai pusat kegiatan Kerjaan Tanah Hitu di Pindahkan ke Pesisir Pantai pada
awal abad XV masehi kini Negeri Hitu sekarang, Raja Mateuna’ adalah Raja
Kerajaan Tanah Hitu yang ke lima dan juga merupakan raja yang terakhir pada
pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu yang pertama sekarang menjadi dusun Ama Hitu
letaknya kira-kira satu kilo meter dari negeri Hitu sekarang, beliau meninggal
dunia pada 29 Juni 1634. Pada masa Raja Mateuna’ terjadi kontak pertama antara
Portugis dengan Kerajaan Tanah Hitu, perlawanan fisik pada Perang Hitu- I Pada
tahun 1520-1605 di pimpin oleh Tubanbessy-I, yaitu Kapitan Sepamole, dan
akhirnya Portugis angkat kaki dari Tanah Hitu dan kemudian mendirikan Benteng
Kota Laha di Teluk Ambon (Jazirah Lei timur) pada tahun 1575 dan mulai
mengkristenkan Jazirah Lei Timur. Raja Mateuna meninggalkan dua Putra yaitu
Silimual dan Hunilamu, sedangkan istrinya berasal dari Halong dan Ibunya
berasal dari Negeri Soya Jazirah Leitimur (Hitu Selatan), beliau digantikan
oleh Putranya yang ke dua yaitu Hunilamu menjadi Latu Sitania yang ke Enam
(1637–1682). Sedangkan Putranya pertamanya Silimual ke Kerajaan Houamual (Seram
Barat) berdomisili disana dan menjadi Kapitan Huamual, memimpin Perang melawan
Belanda pada tahun 1625-1656 dikenal dengan Perang Hoamual dan seluruh keturunannya
berdomisili disana sampai sekarang menjadi orang asli Negeri Luhu (Seram Barat)
bermarga Silehu. Sesudah perginya Portugis Belanda makin mengembangkan
pengaruhnya dan mendirikan Benteng pertahanan di Tanah Hitu bagian barat di
pesisir pantai kaki gunung wawane, maka Raja Hunilamu memerintahkan ketiga
Perdananya mendirikan negeri baru untuk berdampingan dengan Belanda (Benteng
Amsterdam), agar bisa membendung pengaruh Belanda di Tanah Hitu, Negeri itu
dalam bahasa Hitu bernama Hitu Helo artinya Hitu Baru, karena makin
berkembangnya pangaruh dialek bahasa, akhirnya kata Helo menjadi Hila yaitu
Negeri Hila sekarang dan negeri asal mereka Negeri Hitu berganti nama menjadi
Negeri Hitu yang Lama. Belanda tiba di Tanah Hitu pada tahun 1599 dan kemudian
mendirikan kongsi dagang bernama V.O.C pada tahun 1602 sejak itulah terjadi
perlawanan antara Belanda dengan Kerjaan Tanah Hitu, karena mendirikan monopoli
dagang tersebut, puncaknya terjadi Perang Hitu – II atau Perang Wawane yang
dipimpin oleh Kapitan Pattiwane anaknya Perdana Jamilu dan Tubanbesi-2, yaitu
Kapitan Tahalele tahun 1634 -1643 dan Kemudian perlawanan Terakhir yaitu perang
Kapahaha 1643 - 1646 yang dipimpin oleh Kapitan Talukabesi (Muhammad Uwen) dan
Imam Ridjali setelah Kapitan Tahalele menghilang, berakhirnya Perang Kapahaha
ini Belanda dapat menguasi Jazirah Lei Hitu. Belanda melakukan perubahan
besar-besaran dalam struktur pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu yaitu mengangkat
Orang Kaya menjadi raja dari setiap Uli sebagai raja tandingan dari Kerajaan
Tanah Hitu. Hitu yang lama sebagai pusat kegiatan pemerintahan Kerajaan Tanah
Hitu di bagi menjadi dua administrasi yaitu Hitulama dengan Hitumessing dengan
politik pecah belah inilah (devidet et impera) Belanda benar-benar
menghancurkan pemerintah Kerajaan Tanah Hitu sampai akar-akarnya.
Negeri – Negeri di Jazirah Lei Hitu yang tidak
termasuk di dalam Uli Hitu berarti negeri-negeri tersebut adalah negeri –
negeri baru atau negeri-negeri yang belum ada pada zaman kekuasaan Kerajaan
Tanah Hitu (1470-1682).Ketujuh Uli diantaranya :
1. Uli Halawang terdiri dari dua negeri yaitu:
· Negeri
Hitu
· Negeri
Hila
Central Ulinya di Negeri Hitu
2. Uli Solemata (Wakane) terdiri dari tiga negeri yaitu:
· Ngeri
Tial
· Ngeri
Suli
· Negeri
Tulehu
Central Ulinya di Negeri Tulehu
3.Uli Sailesi terdiri dari empat negeri yaitu:
· Negeri
Mamala
· Negeri
Morela
· Negeri
Liang
· Negeri
Wai
Central Ulinya di Negeri Mamala
4.Uli Hatu Nuku terdiri dari satu negeri yaitu :
· Negeri
Kaitetu
Central Ulinya di Kaitetu
5.Uli Lisawane terdiri dari satu negeri yaitu :
· Negeri
Wakal
6.Uli Yala terdiri dari tiga negeri yaitu :
·
Negeri Seith
·
Negeri Ureng
·
Negeri Allang
Central Ulinya di Seith
7.Uli Lau Hena Helu terdiri dari satu negeri yaitu :
· Negeri
Lima
Central Ulinya di Negeri Lima
Silsilah Upu Latu Sitania Kerjaan Tanah Hitu
1.ZAINAL ABIDIN (ABUBAKAR NASIDIQ)
2.MAULANA IMAM ALI MAHDUM IBRAHIM
3.PATTILAIN
4.POPO EHU’
5.MATEUNA
6.HUNILAMU (1637 – 1682)
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tanah_Hitu"
Kerajaan
Islam di Sulawesi
- Kesultanan
Gowa (awal abad ke-16 - 1667?)
Kesultanan Gowa atau
kadang ditulis Goa ,
adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi
Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.
Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten
Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan
menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja
yang paling terkenal bergelar Sultan
Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang
dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis
dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati perang
antar suku Makassar - suku Bugis, karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya
demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et
Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini. Perang Makassar ini adalah perang
terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad itu.
Sejarah
Sejarah awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan
komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera),
yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang,
Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik
damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan
Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri
Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain
menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama
adalah Batara Guru dan saudaranya
Abad ke-16
Tumapa'risi' Kallonna
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan
Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna.
Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis
berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar
sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di
kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari
sebuah konfederasi
antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga
mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah
yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai)
akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan
peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di
bawah seorang syahbandar untuk mendanai
kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa,
masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan
penangkapan ikan banyak.[1]
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses
penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan
menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh
penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang
ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta
Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh
Tunipalangga.[1]
Tunipalangga
Tunipalangga dikenang karena sejumlah
pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu)
Gowa, diantaranya adalah:
1.
Menaklukkan dan
menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai
negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang,
Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
2.
Orang pertama kali
yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
3.
Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
4.
Menciptakan jabatan
Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar
leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
5.
Menetapkan sistem
resmi ukuran berat dan pengukuran
6.
Pertama kali memasang
meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
7.
Pemerintah pertama
ketika orang Makassar mulai membuat peluru,
mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
8.
Pertama kali membuat
dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
9.
Penguasa pertama yang
didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta
tempat tinggal di Makassar .
10. Yang
pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang),
dan membuat peluru Palembang .
11. Penguasa
pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
12. Penyusun
siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan
sangat berani.
Raja-raja Kesultanan Gowa
1.
Tumanurunga (+ 1300)
2.
Tumassalangga Baraya
3.
Puang Loe Lembang
4.
I Tuniatabanri
5.
Karampang ri Gowa
6.
Tunatangka Lopi (+ 1400)
7.
Batara Gowa Tuminanga
ri Paralakkenna
8.
Pakere Tau Tunijallo
ri Passukki
9.
Daeng Matanre Karaeng
Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
11. I
Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
13. I
Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I
Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
- I Mannuntungi
Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang
Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653 - I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 - I Mappasomba
Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
1.
I Mallawakkang Daeng
Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
- Sultan Mohammad
Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681 - I Mappadulu Daeng
Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
- La Pareppa
Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
- I Mappaurangi
Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
- I Manrabbia
Sultan Najamuddin
- I Mappaurangi
Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada
tahun 1735)
- I Mallawagau
Sultan Abdul Chair (1735-1742)
- I Mappibabasa Sultan
Abdul Kudus (1742-1753)
- Amas Madina
Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka)
(1747-1795)
- I Mallisujawa
Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
- I Temmassongeng
Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
- I Manawari
Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
- I Mappatunru / I
Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
- La Oddanriu
Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
- I Kumala Karaeng
Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30
Januari 1893)
- I Malingkaan
Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
- I Makkulau Daeng
Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[2] - I Mangimangi
Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin
Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
- Andi Ijo Daeng
Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960)
merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
- Kesultanan Buton (1332 - 1911)
Kesultanan Buton terletak
di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di
bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan
sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan
yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit,
Patih Gajah
Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Sejarah awal
Mpu
Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam
bukunya, Negara Kartagama. Sejarah
yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan
Bone di Sulawesi
lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang
berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin
al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada
tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola
dan baginda langsung memeluk agama Islam.
Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil
mengislamkan Raja Buton yang ke-6
sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau
bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam
artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang
sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah
daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate.
Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya
dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam
masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di
Pulau Buton,
sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama
merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya
dapat menampung lima
orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Raja Buton masuk Islam
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu
Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang
diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya
bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau
sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid
setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda
langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada
tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut,
masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid
merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama,
bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini
ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang
melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid
tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah
ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan
Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan
Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu
kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La
Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai
berikut:
1.
Syeikh Abdul Wahid
pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
2.
Syeikh Abdul Wahid
sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
3.
Kedatangan Syeikh
Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru beliau
yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai
dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik Sultan Murhum
sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi
berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut
bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan
tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan
Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa
``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan
(1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun
yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M
dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa
beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek,
nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M
dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah
keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang
kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani
mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai
Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu
dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa pula sebabnya sehingga
Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani
terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan
Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman
dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara
kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton
sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini
telah ada orang yang menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate . Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton
sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem
pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan
yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton
berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan
bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran
yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio
menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan
Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut
selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah
kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak
berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
KEPERCAYAAN REINKARNASI
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme
ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih
hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada
reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana
disebarkan di pusat. Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh
masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo
Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda
Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3.
Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan
pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan
demi keselamatan agama)
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim
penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan
beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit
banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk
surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada
reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil
yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
A. Asal-Usul
Kepercayaan pada Reinkarnasi
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan)
kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa
tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup
berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian
bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa
sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam
keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang
sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama
Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan
tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan.
Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin
pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh
Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan
kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan
reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan
yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah
memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia . Ia menganggap ide
tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran
tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli
(Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun
ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli
sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di
Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat
menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh
nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa
Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita
turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan.
Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari
1977, I:46).
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita
turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit
membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang
Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai
hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak
dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari
perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di
bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula
digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah)
sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat
luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai
bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal,
arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju
kelahiran.
Biasanya, seorang wanita yang mengandung
tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak
musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian
masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya.
Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun
hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi
tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin
diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang
baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana
menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat
mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si
anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme
dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai
sufisme Indonesia ,
khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak
disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima
gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan
tentang reinkarnasi.
B. Gagasan-gagasan
yang Berkaitan dengan Reinkarnasi
b.1 . Pengaruh
terhadap waktu dan tempat reinkarnasi
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa
pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang
meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan
serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga
yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu.
(Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan
Buton: 1984}
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang
dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah
cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan
diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan
kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang
sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada
hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak
ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini
disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya
arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam
surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut
sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan
disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana
Ompu).
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa
(Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini
arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian
keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan
memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan
(kabubusi).
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi.
Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah
melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang
yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh
alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga
ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama
konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan
bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan
reinkarnasi diatas). Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat
(wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan
wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama
tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan
tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar
menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan
menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang
sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi
anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan
agama yang kaut. Lalu dari sana
arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra,
pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan
bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah;
menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam
berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati
agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya.
Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi
makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan
atau alam manusia dicapai.
Kendati arwah masih berada dalam alam insan
orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan
untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku,
seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam
bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak,
tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak
dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan
mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah
ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka
yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah
empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang
masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang
pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah.
Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah
bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui
persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih
belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki
belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan
hanya tinggal tumbuh lagi.
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang
berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk
orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan
kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan
demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih.
Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan
sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini,
adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan,
keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu
kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin
mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar
tidak dapat yakin adanya Tuhan.
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka
ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus
sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang
tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka
yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari
soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati
Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan
kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal
lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan
baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari
golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak
dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman
dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup
buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu
juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi
kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki
selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada
gadis.
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup
buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam
wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
b.2. Berubah menjadi
binatang
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut
dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan
itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang
dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah
Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari
1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape
terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan
kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga
mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa
ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh
sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia
betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat
langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas
telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja
yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai
penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
b.3. Mengenal arwah
mendiang pada anak-anak
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan
menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa
anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu
laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini
jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang
permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851
M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa
(Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya
berkat arwah yang menitis pada dirinya.
C. Percaya pada
Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain
c.1. Percaya pada
reinkarnasi dan Islam
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim
Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam
yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga
mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca
dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi,
ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang
yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan
dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh
sangat menentukan.
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada
kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang
benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik,
menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk
mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk
tingkah laku seperti itu pada orang lain.
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan
pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian
setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan
perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang
disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju
an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju
al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27 ) dan (Arbery 1955, I:76).
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan
perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga
menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu
kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab
nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh
dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti
harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para
arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia.
Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan
yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan
untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut:
Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu
masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya
kuasa mengatur segala-galanya.
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa
Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada
soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya,
dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi.
Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam
dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan
mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas
menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan
kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
c.2. Percaya pada
reinkarnasi dan pemujaan leluhur
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan
untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan
‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur
disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah
(batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air
tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam
leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah
tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali
ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka
sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak
mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
Memang dari penjelasan tentang diatas akan
menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat
dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak
manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian
memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu
kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari
sepuluh cucu.
Kesultanan Bone atau
sering pula dikenal dengan Kesultanan
Bugis, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian
barat daya
atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi
Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa,
Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi
Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di
bawah kontrol Belanda
sampai tahun 1814
ketika Inggris
berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian
di Eropa akibat
kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini
kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun
Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai
akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia
pada saat proklamasi. Di Bone, para raja
bergelar Arumpone.
Daftar Arumpone Bone
1.
Matasi LompoE [ManurungE Ri
Matajang] (1392-1424)
2.
La Umassa Petta Panre
BessiE [To' Mulaiye Panreng] (1424-1441)
3.
La Saliyu Karaeng
Pelua' [Pasadowakki] (1441-1470)
4.
We Ban-ri Gau Daeng
Marawa Arung Majang Makalappi Bisu-ri La Langpili Patta-ri La We Larang
[MalajangE ri Chiena] (1470-1490)
5.
La Tenri Sukki
MappajungE (1490-1517)
6.
La Wulio BotoE
[MatinroE-ri Itterung] (1517-1542)
7.
La Tenri Rawe
Bongkange [MatinroE-ri Guchina] (1542-1584)
8.
La Icca' [MatinroE-ri
Adenenna] (1584-1595)
9.
La Pattawe
[MatinroE-ri Bettung] (15xx - 1590)
16. La
Ténritatta Matinroe ri Bontoala' (Arung Palakka) petta malampeE Gemme'na
Daeng Serang (1672-1696)
18. Batari
Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiyat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1714-1715) (masa
jabatan pertama)
19. La
Padang Sajati To' Apawara Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan
Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Beula] (1715-1720)
20. Bata-ri
Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1715) (masa
jabatan kedua)
21. La
Parappa To' Aparapu Sappewali Daeng Bonto Madanrang Karaeng Anamonjang Paduka
Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din
(1720-1721). Ia menjadi Sulta Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone,
dan Datu Soppeng.
22. I-Mappaurangi
Karaeng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l
Kadir (1721-1724). Menjadi Sulta Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi dan
Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
23. La
Panaongi To' Pawawoi Arung Mampua Karaeng Bisei Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah
Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Bisei] (1724)
24. Batari
Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1724-1738) (masa
jabatan ketiga)
25. I-Danraja
Siti Nafisah Karaeng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
26. Batari
Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1741-1749) (masa
jabatan keempat)
27. La
Temmassoge Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq
Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE ri-Malimungang]
(1749-1775)
28. La
Tan-ri Tappu To' Appaliweng Arung Timurang Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh
Shams ud-din [MatinroE-ri-Rompegading] (1775-1812)
29. La
Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin
[MatinroE-ri Laleng-bata] (1812-1823)
30. I-Maneng
Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [MatinroE-ri Kassi] (1823-1835)
31. La
Mappaseling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [MatinroE-ri Salassana]
(1835-1845)
32. La
Parenringi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [MatinroE-ri Aja-benteng]
(1845-1858)
33. La
Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)
34. La
Singkara Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [MatinroE-ri Lalambata]
(1860-1871)
35. I-Banri
Gau Paduka Sri Sultana Fatima [MatinroE-ri Bola Mappare'na] (1871-1895)
36. La
Pawawoi Karaeng Sigeri [MatinroE-ri Bandung ]
(1895-1905)
37. Haji
Andi Bacho La Mappanyuki Karaeng Silayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan
Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
38. Andi
Pabenteng Daeng Palawa [MatinroE-ri Matuju] (1946-1950)
39. Haji
Andi Bacho La Mappanyuki Karaeng Silayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan
Husain [MatinroE-ri Gowa] (1950-1960)
(masa jabatan kedua diangkat oleh belanda)
40. Arung Bocco Petta Daru
/ Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [MatinroE-ri Bengo] (1827-1904) (setelah wafat
tidak ada mangkau di bone selama 20 thn)
41. Ratu Bessi Kejora Saudara
Kandung Dari Arung Bocco Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng
[MatinroE-ri Kajuara]] ) (Adalah keturunan Langsung Dari Almarhum Jendral
M.Yusuf)"
Kerajaan
Islam di Kalimantan
- Kesultanan Pasir (1516)
Kesultanan Pasir yang
sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas,
berdiri pada tahun 1516
dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung.
Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten
Pasir yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan
sebagian Provinsi Kalimantan Selatan.[1]
Sejarah
·
1523, perkawinan Putri
Di Dalam Petung dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama Islam
dari Kesultanan Demak) yang dikaruniai empat orang
anak, yaitu
1.
Aji Mas Pati Indra,
2.
Aji Putri Mitir,
3.
Aji Mas Anom Indra,
dan
4.
Aji Putri Ratna
Beranak.
· Hingga
1959 - Wilayah Pasir
berstatus kewedanaan di dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Pemerintahan selanjutnya
·
1667-1680 - Aji Perdana bin
Aji Anom Singa Maulana, bergelar Penambahan Sulaiman
·
1680–1730 - Aji Duwo bin Aji
Mas Anom Singa Maulana, bergelar Penambahan Adam
·
1703-1738 - Aji Geger bin
Aji Anom Singa Maulana, bergelar Sultan Aji
Muhammad Alamsyah (Sultan Pasir I)
·
1738-1768 - Aji Negara bin
Sultan Aji Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan Sepuh Alamsyah
(Sultan Pasir II)
·
1768-1799 - Aji Dipati bin
Panembahan Adam, bergelar Sultan Dipati Anom
Alamsyah (Sultan Pasir III)
·
1799-1811 - Aji Panji bin
Ratu Agung, bergelar Sultan Sulaiman
Alamsyah (Sultan Pasir IV)
·
1811-1815 - Aji Sembilan bin
Aji Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan Ibrahim
Alamsyah
·
1815-1843 - Aji Karang bin
Sultan Sulaiman Alamsyah, bergelar Mahmud Han Alamsyah
·
1843-1853 - Aji Adil bin
Sultan Sulaiman Alamsyah, bergelar Sultan Adam Alamsyah
·
1853-1875 - Aji Tenggara bin
Aji Kimas bergelar Sultan Sepuh II
Alamsyah
·
1875-1890 - Aji Timur Balam
diberi gelar Sultan Abdurahman
Alamsyah
·
1897-1898 - Pangeran Nata
bin Pangeran Dipati Sulaiman, pada bulan Oktober-Desember diberi gelar Sultan Sulaiman
Alamsyah
·
1898-1900 - Pangeran Ratu
bin Sultan Adam Alamsyah bergelar Sultan Ratu
Raja Besar Alamsyah.
·
1900-1906 - Pengeran Mangku
Jaya Kesuma bergelar Sultan Ibrahim
Khaliluddin (Sultan Terakhir)
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe (Kalimantan Tenggara)
Kesultanan Pasir merupakan salah satu daerah leenplichtige
landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe. Menurut Staatblaad
tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota
Kota Baru,
terdiri dari daerah-daerah leenplichtige landschappen dan daerah landschap
yang langsung diperintah kepala bumiputeranya :
1.
Pasir
2.
Pegatan
3.
Koensan
4.
Tjingal
5.
Manoenggoel
6.
Bangkalaan
7.
Sampanahan
8.
Tjangtoeng
9.
Batoe
Litjin
10.
Sabamban dan
11.
Poelau
Laoet dengan Poelau Seboekoe
- Kesultanan Banjar (1526-1905)
Kesultanan Banjar (24 September 1526 s.d 11
Juni 1860) adalah kesultanan yang terdapat di Kalimantan Selatan. Kesultanan ini semula
beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan
sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura
disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin,
maka kesultanan ini disebut Kesultanan
Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang
beribukota di kota
Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Sejarah
Di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu
pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut
hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia
Belanda sejak 11
Juni 1860,
yaitu :
1.
Keraton I disebut Kerajaan
Kuripan/Kerajaan Tanjung Puri
2.
Keraton II disebut Kerajaan Negara Dipa
3.
Keraton III disebut Kerajaan Negara Daha
4.
Keraton IV disebut Kesultanan Banjar
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah
berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera (anak dari Puteri
Galuh Intan Sari). Hal tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam
keselamatannya karena para Pangeran (saudara raja) juga berambisi sebagai
pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran
Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha,
selanjutnya digantikan (anaknya?) Pangeran Tumenggung. Raden Samudera sebagai
kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya, tetapi berkat
pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan, ia berhasil lolos ke hilir
sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala Kampung
Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya melepaskan diri dari
Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan sendiri dan tidak mau
lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan
regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih.
Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar mendapat bantuan Kesultanan
Demak. Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih kepada Pangeran Samudera yang
menjadi menjadi Sultan Banjar yang pertama, sementara Pangeran Tumenggung
mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu
penduduk.
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa
kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang,
secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan
membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin .
Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi
pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak
lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan
lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura dan
Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan
kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai
utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan
Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap
kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan
Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah
memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi
serbuan dari kerajaan lain, Panembahan (Sultan) Banjar mengklaim Sambas, Lawai,
Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan
Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai
vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan
Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan
dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi
dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik
Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar
sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan
menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan
dari Mataram, kesultanan Banjarmasin
juga harus menghadapi kekuatan Belanda.
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah
(kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur
berbatasan dengan Kesultanan Pasir. Pada daerah-daerah pecahan
tersebut, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak
memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada
Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan
Belanda.
Wilayah
Teritorial Kerajaan Banjar dalam tiga wilayah
meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan
pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1.
Negara
Agung
2.
Mancanegara
3.
Pasisir
Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat
yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Mempawah sampai ke
negeri Berau.
Daerah
Martapura merupakan wilayah pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah
Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang
tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang
fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan
Banjar.
Wilayah teritorial yang kedua terdiri
dari :
1.
Tanah Laut atau tanah rendah, sebelah Barat
Meratus, sebelah Selatan Banjarmasin.
2.
Daerah Banjar Lama
dengan Pelabuhan Banjarmasin.
3.
Banua Ampat, yaitu daerah Banua
Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Bnaua Gadung di daerah Rantau.
4.
Margasari
5.
Alay
6.
Amandit
7.
Banua Lima
yang terdiri dari daerah Negara, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai
dan Kalua
8.
Muarabahan
Teritorial ketiga (daerah pengirim upeti)
terdiri dari :
·
Tanah Bumbu, Pulau Laut,
Karasikan (Kersik Putih?), Pasir,
Kutai,
Berau
dan pantai sebelah Timur
·
Kotawaringin, Sukadana (Lawai), Landak, Sanggau, Sintang,
Mempawah, Sambas
dan pantai sebelah Barat.
Sistem Pemerintahan
1.
Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2.
Putra
Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran
Ratu/Sultan
Muda
3.
Perdana
Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah
Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang
Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4.
Lalawangan : kepala
distrik, kedudukannya sama seperti di masa Hindia
Belanda.
5.
Sarawasa, Sarabumi dan
Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6.
Mandung dan
Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7.
Mamagarsari :
Pengapit raja duduk di Situluhur
8.
Parimala : Kepala
urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
9.
Sarageni dan
Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng,
badik, parang, badil, meriam dll.
10. Puspawana :
Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
11. Pamarakan
dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
12. Kadang
Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
13. Wargasari :
Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
14. Anggarmarta :
Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana :
Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum
Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17. Wiramartas :
Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan
persetujuan Sultan.
18. Bujangga :
Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19. Singabana :
Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan di masa Panembahan Kacil
(Sultan Mustain Billah), terdiri :
1.
Mangkubumi
2.
Mantri Pangiwa dan
Mantri Panganan
3.
Mantri Jaksa
4.
Tuan Panghulu
5.
Tuan Khalifah
6.
Khatib
7.
Para Dipati
8.
Para Pryai
·
Masalah-masalah agama
Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin
pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa,
Khalifah dan Penghulu.
·
Masalah-masalah hukum
sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri
dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
·
Masalah tata urusan
kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
·
Dalam hierarki
struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan
dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa.
Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan
selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu
mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
·
Para Dipati, terdiri
dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua
setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada
masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi
jabatan :
1.
Mufti : hakim
tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2.
Qadi : kepala
urusan hukum agama Islam
3.
Penghulu : hakim
rendah
4.
Lurah : langsung
sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa
orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5.
Pambakal : Kepala
Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
6.
Mantri : pangkat
kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang
menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7.
Tatuha Kampung :
orang yang terkemuka di kampung.
8.
Panakawan : orang
yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
·
Sebutan Kehormatan
o
Sultan,
disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
o
Gubernur Jenderal VOC :
Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
o
Permaisuri
disebut Ratu.
Sultan Banjar
No.
|
Masa
|
Sultan
|
K e t e r a n g a n
|
1
|
Sultan
Suriansyah
|
*Raja
pertama Kesultanan Banjar yang mendirikan kerajaannya di Kampung Banjarmasih
(Kuin), memeluk Islam 24
September 1526,
gelar anumerta Sunan Batu Habang,
beliau cucu Maharaja
Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah.
Dalam agama lama, beliau dianggap hidup membegawan di alam gaib
(sangiang ?) digelari Perbata Batu Habang.
|
|
2
|
Sultan
Rahmatullah
bin Sultan Suriansyah
|
Gelar
anumerta : Panembahan Batu Putih. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah
|
|
3
|
Sultan
Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah
|
Gelar
anumerta : Panembahan Batu Irang. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah
;
|
|
4
|
Sultan
Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah
|
Gelar
lain : Pangeran Kacil/Panembahan Marhum/Mustakim Billah/Musta
Ayinubillah/Mustain Allah/Mustain Ziullah/Raja Maruhum. Gelar anuemrta Marhum
Panembahan /Tahun 1612
memindahkan ibukota ke Martapura
|
|
5
|
Sultan
Inayatullah
bin Mustainbillah
|
Gelar
lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura.
Adiknya, Pangeran Dipati Antakusuma mewarisi wilayah sebelah barat kerajaan
menjadi sebuah kepangeranan yang dikenal
sebagai Kerajaan Kotawaringin
|
|
6
|
Saidullah bin Sultan Inayatullah
|
Gelar
lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah.
|
|
7
|
Sultan
Ri'ayatullah bin Sultan Inayatullah
|
Gelar
lain :Pangeran Tapasana/Pangeran Mangkubumi/Rakyat Allah/Panembahan
Sepuh/Tahalidullah/Adipati Halid/Pangeran Dipati Tuha memegang jabatan
sebagai Wali Sultan dengan gelar Pangeran
Ratu kemudian memakai gelar Sultan Rakyatullah. Pada tahun 1660 menyerahkan
tahta kepada kemenakannya Amirullah Bagus Kesuma yang merupakan Putra Mahkota
anak dari Sultan Saidullah.
|
|
8
|
Sultan
Amirullah Bagus
Kusuma bin Sultan Saidullah
|
*
Nama lain : Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning
|
|
9
|
Pangeran
Surya
Nata II bin Sultan Inayatullah (Sultan Agung)
|
*
Mengkudeta kemenakannya Amirullah Bagus Kasuma dengan bantuan suku Biaju, memindahkan
pemerintahan ke Sungai
Pangeran (
|
|
10
|
Sultan
Amirullah Bagus
Kasuma bin Sultan Saidullah
|
*
Naik tahta kedua kalinya setelah merebut kembali dari Sultan Agung
|
|
11
|
Sultan
Hamidullah bin Tahmidullah I
|
Gelar
lain : Sultan Kuning
|
|
12
|
Sultan
Tamjidullah
I bin Tahmidullah I
|
Bertindak
sebagai wali Putra Mahkota Muhammad Aliuddin Aminullah yang belum dewasa.
Tamjidullah I berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis
keturunannya
|
|
13
|
Sultan
Muhammad
Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah
|
*
Mengkudeta pamannya Sultan Tamjidullah I. Gelar lain : Sultan
Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika
mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah
kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata sebagai
wali Putra Mahkota.
|
|
14
|
Sultan
Tahmidullah II bin Sultan
Tamjidullah I
|
*
Semula sebagai wali Putra Mahkota, tetapi mengangkat dirinya sebagai Panembahan
Kaharuddin Halilullah.
Gelar lain : Susuhunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran
Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin
Abdullah(1762)/Sulaiman Saidullah(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan
Anum. Mengadakan kontrak dengan Hindia
Belanda tahun 1787
untuk menghadapi Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang
menuntut tahta dengan bantuan suku Bugis-Paser yang gagal,
kemudian dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni
Belanda 14 Mei
1787, kemudian
diasingkan ke Srilangka
|
|
15
|
Sultan
Sulaiman Saidullah bin Tahmidullah II
|
*
Mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1767 ketika berusia 6
tahun dari ayahnya Susuhunan Nata Alam
|
|
16
|
Sultan
Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman
al Mutamidullah
|
*
Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Ketika
mangkatnya terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu
Pangeran Prabu Anom, Pangeran Tamjdillah II dan Pangeran Hidayatullah II,
Belanda sebelumnya sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan
Muda sejak 8 Agustus 1852 dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari
kemudian Pangeran Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan pamannya
Pangeran Prabu Anom ke Jawa. Padahal sebelumnya almarhum Sultan Adam telah
membuat
|
|
17
|
Sultan
Tamjidullah
Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdur Rahman
|
*Pada
3
November 1857
diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda
memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor.
|
|
18
|
Sultan
Hidayatullah
II bin Sultan Muda Abdur Rahman
|
||
19
|
Pangeran
Antasari
bin Pangeran Mas'ud bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
|
*
Pada 14
Maret 1862,
yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur
diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi
dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito, Murung
Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober
1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu,
karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11
November 1958
di Komplek Makam Pangeran Antasari,
|
|
20
|
Sultan
Muhammad
Seman bin Pangeran Antasari
|
*
Pemerintahan Pagustian, bersama Gusti Muhammad Said meneruskan
perjuangan Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda, gugur 24 Januari
1905 ditembak
Belanda yang mengakhiri Perang Banjar. Negeri
Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur
Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman
Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur
Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.
|
Kerajaan
Kotawaringin
adalah sebuah kerajaan Islam yang didirikan pada tahun 1679, di wilayah yang
menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini
di Kalimantan Tengah. Kerajaan Kotawaringin
merupakan pecahan kesultanan Banjar yang dibagi waris menjadi dua wilayah.
Wilayah sebelah barat Kesultanan Banjar dimekarkan menjadi Kerajaan
Kotawaringin. Diduga Raja pertama Kotawaringin yaitu Pangeran Dipati Antakusuma
adalah adik Sultan Banjar, Inayatullah bin Mustain
Billah yang memerintah tahun 1620-1637.
Raja Kotawaringin (Antakusuma), Raja Sukadana (Marta Sahary) dan Raja Mempawah
menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah.
Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di
wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada
tahun 1638 terjadi
pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan Jepang di loji di Martapura. Atas
kejadian tersebut VOC membuat surat
ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin
dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan.
Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661, berkat pengaruh mangkubumi,
Pangeran Maes de Patty (mungkin pangeran ini kelak menjadi Raja Kotawaringin
II). Diduga Pangeran Dipati Antakusuma telah menjadi penguasa (raja)
Kotawaringin bersamaan pemerintahan Sultan Inayatullah (1620-1637, walaupun keraton
belum dibangun.
Sebelumnya sekitar tahun 1362, Kota Waringin merupakan
salah satu negeri
di pulau Tanjungnegara yang telah
ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Mahapatih Gajah Mada
berdasarkan Kakawin Nagarakretagama.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus
1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.[1]
Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada
di Kotawaringin Lama (hulu
Sungai Lamandau). Pada 1814
ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan
Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan
didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.[1]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status
Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan.
Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah
otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU
No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.[1]
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten
yaitu :
1.
Kabupaten Kotawaringin
Barat
2.
Kabupaten Lamandau
3.
Kabupaten Sukamara
Sultan Kotawaringin
Raja-raja/sultan yang pernah memerintah sejak 1679 hingga masuknya
penjajah Belanda
dengan urutan sebagai berikut:[1]
- Kerajaan Pagatan (1750)
Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah sebuah
kerajaan kecil yang pernah berdiri di sebagian wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Kerajaan ini didirikan oleh
imigran suku
Bugis atas seijin Sultan Banjar ke-8, Panembahan Batu yang menjadi
koloni suku Bugis di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini semula
merupakan kerajan bawahan dari Kesultanan
Banjar selanjutnya menjadi bawahan Hindia Belanda, karena diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda dalam Traktat Karang Intan.
Penguasa kerajaan ini bergelar Pangeran Muda. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah kerajaan ini
merupakan "leenplichtige landschappen" dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe.
Wilayah
Pusat pemerintahan di kota Pagatan ibukota Kecamatan Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Cakupan Wilayah
Walaupun wilayahnya cukup kecil hanya
merupakan sebuah kecamatan atau dapat disamakan dengan sebuah lalawangan (distrik) yang ada
di wilayah Hulu Sungai pada kurun waktu yang sama, tetapi
merupakan sebuah kerajaan. Pada kurun yang sama wilayah Hulu Sungai terdiri
atas 9 distrik yaitu Distrik Tabalong, Distrik
Kelua, Distrik Balangan, Distrik
Amuntai, Distrik Alabio, Distrik Batang Alai, Distrik
Negara, Distrik Amandit, Distrik
Margasari dan Distrik Benua Empat.
Setiap Lalawangan dipimpin seorang yang
bergelar Kiai Tumenggung yaitu
Kepala Bubuhan
yang tertinggi kedudukannya secara hirarkis di daerah lalawangan masing-masing
dan diakui Sultan sebagai pemimpin di daerah tersebut. Demikian juga pada
daerah-daerah suku Dayak di Kaimantan Tengah. Raja Pagatan merupakan kepala
bubuhan suku Bugis yang ada di daerah tersebut. Kerajaan Pagatan tidak dapat
disamakan kedudukannya dengan Kesultanan
Banjar (Kerajaan Negara Dipa) yang sudah ada sejak abad ke-14
yang kekuasaannya meliputi sebagian besar wilayah Kalimantan .
Asal Mula Pagatan
Dalam Hikayat Banjar ketika Pangeran Samudera
berperang dengan pamannya Maharaja Tumenggung
dari Kerajaan Negara Daha sekitar tahun 1526, nama Pagatan
tidak ada disebutkan sebagai daerah pesisir Kalimantan Selatan yang diminta
untuk mengirim bantuan pasukan. Daerah yang sudah ada pada masa itu diantaranya
Tabanio, Takisung, Asam-asam, Swarangan, Kintap, Satui, Laut Pulau (Pulau Laut)
dan Pamukan.
Pagatan baru ada sekitar tahun 1750 dibangun
oleh Puanna Dekke', hartawan asal Tanah Bugis tepatnya dari Wajo,
Sulawesi Selatan. Puanna Dekke' berlayar menuju Pasir,
hatinya tidak berkenan sehingga menyusuri Tanah Bumbu
dan belum menemukan daerah yang dapat dijadikan pemukiman sampai dia menemukan
sungai yang masuk dalam wilayah Kesultanan Banjar. Selanjutnya bertolaklah
Puanna Dekke' menuju Banjarmasin untuk meminta ijin kepada Sultan Banjar ke-7
(1734) yaitu Panembahan Batu untuk mendirikan pemukiman di wilayah tersebut.
Perjanjian Karang Intan
Wilayah kerajaan Pagatan merupakan salah satu
daerah kekuasaan Kesultanan Banjar yang diserahkan Sultan Sulaiman
kepada kolonial Hindia-Belanda melalui Perjanjian Karang Intan.
Kapitan Laut Pulo
Atas jasa-jasa La Pangewa dan pasukannya
mengempur pasukan Pangeran Amir bin Sultan Kuning yang menjadi rivalnya Sultan
Banjar ke-8 Sultan Tahmidullah II dalam perebutan mahkota kesultanan Banjar,
dia anugerahi gelar Kapitan Laut Pulo mungkin semacam panglima laut yang
menjaga perairan wilayah Kesultanan Banjar, selanjutnya menjadi raja di daerah
Pagatan. Pada masa tertentu wilayahnya Kerajaan Pagatan dan Kerajaan Kusan
disatukan menjadi semacam federasi dengan sebutan Kerajaan Pagatan dan Kusan.
Kerajaan Pagatan merupakan salah satu daerah leenplichtige
landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe.
Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah
Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri dari daerah-daerah leenplichtige
landschappen dan daerah landschap yang langsung diperintah kepala
bumiputeranya :
1.
Pasir
2.
Pegatan
3.
Koensan
4.
Tjingal
5.
Manoenggoel
6.
Bangkalaan
7.
Sampanahan
8.
Tjangtoeng
9.
Batoe
Litjin
10.
Sabamban dan
11.
Poelau
Laoeut (Pulau
Laut)dengan pulau Seboekoe (Pulau Sebuku)
Raja Pagatan dan Kusan
No.
|
Masa
|
Nama Raja
|
K e t e r a n g a n
|
1
|
Raja
Pagatan I yang diberi gelar Kapitan Laut Pulo oleh Panembahan Batu
|
||
2
|
Raja
Pagatan II
|
||
3
|
La Paliweng (Arung
Abdulrahim)
|
Raja
Pagatan III
|
|
4
|
La Matunra (Arung Abdul
Karim)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
|
5
|
|
||
6
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
||
7
|
Ratu Senggeng (Daeng
Mangkau)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
|
8
|
H Andi Tangkung (Petta
Ratu)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
|
9
|
Andi Sallo (Arung Abdurahman)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
Penggabungan Pagatan dan Kusan (1850)
Pangeran Djaja Soemitra anak dari pangeran M.
Nafis dan menjadi Raja Kusan IV tahun 1840-1850, kemudian ia pindah ke Kampung
Malino dan menjadi Raja Pulau Laut I pada tahun 1850-1861. Sejak itu
pemerintahan kerajaan Kusan digabung dengan kerajaan Pagatan.
- Kesultanan Sambas (1675)
Kesultanan Sambas adalah
kerajaan yang terletak di Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di Kota
Sambas. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini
telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam
Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran
"Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh,
pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang
terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian
dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah
Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan
di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang
serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang
diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari
Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak
dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah
Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu
yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena
saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka
kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan
konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai
Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota
Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota
Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka
kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan
hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja
Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja
yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan
oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban
wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu
Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara
Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan
Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9)
datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap
di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung
Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu
Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah
menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan
Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas
dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad
Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.
Sejarah Ringkas Kesultanan Sambas
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada
tahun 1675 M, di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri
Kerajaan-Kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya.
Berdasarkan data-data yang ada, urutan Kerajaan yang pernah berdiri di wilayah
Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia
adalah :
1.
Kerajaan Nek Riuh
sekitar abad 13 M - 14 M.
2.
Kerajaan Tan Unggal
sekitar abad 15 M.
3.
Panembahan Sambas pada
abad 16 M.
4.
Kesultanan Sambas pada
abad 17 M - 20 M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis
sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara
Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa
Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik
Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan
benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa hindu)yang ditemukan
selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad
ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini telah berdiri Kerajaan.
Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran
dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia sehingga diyakini bahwa
pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri
Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan
Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan Sambas
berumula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan
Muhammad Hasan wafat pada tahun 1598 M, maka kemudian putra Baginda yang sulung
menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul
Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian muncul saingan untuk
menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang bernama Pangeran Muda
Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul
Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan
Kesultanan Brunei
yaitu daerah Sarawak kepada Pangeran Muda
Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629 M, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di
Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar
Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama Sultan tengah
atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelaran Baginda sebelum menjadi Sultan
yaitu Pangeran Muda Tengah.
Setelah sekitar 2 tahun memerintah di
Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil (Kota Kuching sekarang ini),
Baginda Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat
itu di Kesultanan Johor yang menjadi Sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja
Bujang)dimana Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari Sultan
Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Baginda
Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Baginda
Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke Sarawak
sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran.
Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari Selat Malaka, kapal
rombongan Baginda Sultan Tengah ini dihantam badai yang sangat dahsyat. Setelah
terombang-ambing di laut satu hari satu malam, setalah badai mereda, kapal
Baginda Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah
kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi Sultan di Kesultanan
Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja
kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir Makkah) yaitu Shekh
Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke
Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke Kesultanan
Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.
Baginda Sultan Tengah dan rombongannya
kemudian disambut dengan baik oleh Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri
Mustika. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana ini, setelah
melihat perawakan dan kepribadian Baginda Sultan Tengah yang baik, maka
kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Adindanya yang dikenal
cantik jelita yang bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah.
Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini sehingga kemudian menikahlah
Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma dengan adat kebesaran Kerajaan
Kesultanan Sukadana. Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda
Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan
Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di sekitar Selat Malaka menyusul
adanya ekspansi besar-besaran dari Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan
Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya
Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki
yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan
Sukadana dan situasi di sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi
Sultan Abdul Jalil Johor (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian
memutuskan untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat
baru yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah telah
mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah
Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan
Sambas.
Maka kemudian pada tahun 1638 M berangkatlah
rombongan Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan
menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan alat senjata dari Kesultanan Sukadana
menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas,
rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Raja
Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Baginda Sultan Tengah
ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak
jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah Baginda Sultan Tengah
beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak
kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai penggantinya maka kemudian
diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama Raden Kencono (Anak Ratu
Timbang Paseban). Raden Kencono ini adalah juga menantu dari Ratu Sapudak
karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah
menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom
Kesumayuda.
Setelah sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah
menetap di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman
sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah
dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu.
Karena pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahkan gelaran Raden
oleh Panembahan Sambas sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya
tinggal di lingkungan Keraton Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari
pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak
pertama yaitu seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima.
Raden Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu
Menteri Besar Panembahan Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang
bernama Raden Aryo Mangkurat.
Tidak lama setelah kelahiran cucu Baginda
Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah melihat situasi yang sudah mulai
aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah melihat anaknya yang sulung yaitu
Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar
Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya
untuk kembali ke Negerinya yang telah begitu lama di tinggalkannya yaitu
Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Baginda Sultan Tengah beserta
istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari
Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi
beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun 1652 M.
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai
ke Sarawak yaitu disuatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba
Baginda Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal
itu kemudian dibalas tikam oleh Baginda Sultan Tengah hingga pengawal itu
tewas. Namun demikian luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga
kemudian Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan pun wafat. Jenazah
Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di sholatkan kemudian dengan adat
kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri
Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri
Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian
memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu tempat dimana ia berasal
bersama dengan keempat anaknya.
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahandanya
yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari
Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas
yaitu Raden Aryo Mangkurat. Tentangan dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat
fanatik hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat
mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik
prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri Besar
disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di
lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang mayoritas masih menganut hindu itu
sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk Panembahan
Sambas yang masuk Islam sehingga Raden Sulaiman ini semakin dibenci oleh Raden
Aryo Mangkurat.
Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden
Aryo Mangkurat ini kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam
keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya sedangkan Ratu Anom Kesumayuda
tampaknya tidak mampu berbuat dengan ulah adiknya itu. Maka Raden Sulaiman
kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat
menetap yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655 M, berangkatlah Raden
Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya yaitu sebagian
orang-orang Brunei yang ditinggalkan Ayahandanya (Sultan Tengah) ketika akan
pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang
setia dan telah masuk Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang
disebut dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah
selama setahun di tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk
menetap di suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar
4 tahun menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda
datang menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia
dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan
berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang
baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom Kesumayuda)telah berseteru
dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota
Lama. Untuk itulah Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan
kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan
pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar 5 tahun setelah mendapat mandat
penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda maka setelah berembug dengan
orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang diperlukan, Raden Sulaiman
kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan baru. Maka kemudian pada
sekitar tahun 1671 M Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman
sebagai Sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad
Shafiuddin yaitu mengambil gelar dari nama gelaran Abang dari Ibundanya (Putri
Surya Kesuma) yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika, Sultan
Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di
dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun
yang di isi dengan melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan
hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad
Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari Tahta Kesultanan Sambas dan
mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan gelar
Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar setahun setelah memerintah sebagai
Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan
dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) kemudian memindahkan pusat pemerintahan
Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan
3 buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini
kemudian disebut dengan nama "Muare Ulakkan" yang menjadi pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 M itu hingga
berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas pada tahun 1956 M atau sekitar 250
tahun.
Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan
Brunei Darussalam
Sejarah tentang asal usul Kesultanan Sambas tidak bisa terlepas dari Kesultanan Brunei
Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang
sangat erat. Pada abad ke-13, di Negeri Brunei
Darussalam, bertahta seorang Raja yang bergelar Sri
Paduka Sultan Muhammad Shah / Awang Alak Betatar. Sultan Muhammad Shah ini
merupakan Raja Brunei
pertama yang memeluk Islam, Sultan Brunei ke-1. Setelah Baginda wafat,
tahta kerajaan diserahkan kepada Adindanya yaitu Pateh Berbai yang kemudian
bergelar Sultan Achmad. Istri
(Permaisuri) dari Sultan Achmad ini adalah anak Kaisar China . Dari
hasil pernikahan ini Sultan Achmad hanya dikaruniai satu-satunya anak perempuan
yang bernama Putri Ratna Kesuma. Pada akhir abad ke-14 M (sekitar tahun 1398 M)
datang di Kesultanan Brunei
pada masa Sultan Achmad ini seorang pemuda Arab dari negeri Thaif (dekat Kota Suci Makkah) yang
bernama Syarif Ali.
Syarif Ali ini adalah mantan Amir Makkah (semacam Sultan
Makkah)yang melarikan diri dari Makkah melalui Thaif menyusul terjadinya
perebutan kekuasaan Tahta Amir Makkah dengan saudara sepupunya yang kemudian
membuat posisi Amir Syarif Ali ini terpojok dan terancam jiwanya sehingga
kemudian ia melarikan diri ke Aden (wilayah Yaman sekarang). Dari Aden Syarif
Ali terus pergi ke India Barat, dari India Barat terus ke Johor dan dari Johor
lalu ke Kesultanan Brunei yaitu dimasa Sultan Achmad (Pateh Berbai) yang
memerintah Kesultanan Brunei. Syarif Ali ini adalah keturunan langsung dari
Amir Makkah yang terkenal di Jazirah Arabia yaitu Syarif Abu Nu'may Al Awwal, dimana Syarif Abu Nu'may Al Awwal ini
adalah keturunan dari Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam yaitu Amirul Mukminin Hasan Ra. Hal ini
sesuai dengan silsilah yang terekam pada Batu Tarsilah Brunei yang masih di
temui hingga kini yang menyebutkan " Syarif Ali, Sultan Brunei ketiga,
adalah pancir (keturunan) dari Cucu
Rasulullah, Amirul Mukminin Hasan Ra." Karena saat itu masyarakat
negeri Brunei masih baru dalam memeluk Dienul Islam maka Syarif Ali yang
mempunyai pengetahuan Islam yang lebih dalam kemudian mengajarkan Dienul Islam
kepada masyarakat Brunei sehingga ia kemudian diangkat menjadi Mufti Kesultanan
Brunei di masa Sultan Achmad itu. Sejak saat itu pengaruh Syarif Ali di
Kesultanan Brunei
semakin kuat seiring dengan kuatnya antusiasme masyarakat Brunei saat itu
dalam mempelajari Islam. Posisi Syarif Ali di Kesultanan Brunei ini kemudian
menjadi semakin kuat lagi yaitu setelah Sultan Achmad menjodohkan Putri
satu-satunya yaitu Ratna Kesuma dengan Syarif Ali.
Pada saat Sultan Achmad sudah semakin tua dan
mulai memikirkan penggantinya dan saat itu pengaruh Syarif Ali sebagai Ulama besar
sekaligus menantu Sultan Achmad Tajuddin sudah begitu kuatnya di kalangan
istana dan masyarakat Brunei, maka kemudian timbul ide untuk menjadikan Syarif
Ali sebagai Sultan Brunei berikutnya apabila kelak Sultan Achmad wafat. Usul
ini kemudian di setujui oleh Sultan Achmad dan didukung pula dengan kuat oleh
masyarakat Kesultanan Brunei
saat itu sehingga kemudian diangkatlah Syarif Ali sebagai Sultan Brunei ke-3
menggantikan Sultan Achmad (Sultan Brunei ke-2) dengan gelar Sultan Syarif Ali.
Setelah memerintah sekitar 7 tahun sebagai
Sultan Brunei, pada tahun 1432 M Sultan Syarif Ali wafat dan kemudian
digantikan oleh putra sulungnya yang bergelar Sultan Sulaiman, Sultan Brunei ke-4. Sultan Sulaiman memerintah
sangat panjang yaitu sekitar 63 tahun dan berusia lebih dari 100 tahun. Setelah
wafat pada tahun 1485 M, Sultan Sulaiman kemudian digantikan oleh putranya yang
kemudian bergelar Sultan Bolkiah
yang memerintah dari tahun 1485 M hingga 1524 M. Pada masa Sultan Bolkiah ini
Kesultanan Brunei mengalami kemajuan yang sangat pesat dan mempunyai wilayah
kekuasaan yang sangat luas yaitu meliputi hampir seluruh Pulau Borneo /
Kalimantan hingga ke Banjarmasin. Sultan Bolkiah kemudian digantikan oleh
anaknya yang sulung yang bergelar Sultan Abdul Kahar sebagai Sultan Brunei ke-6. Sultan Abdul Kahar kemudian digantikan
oleh keponakannya (anak laki-laki dari Adindanya yang laki-laki) yang kemudian
bergelar Sultan Syaiful Rijal (Sultan Brunei ke-7). Pada masa Sultan Syaiful Rijal inilah terjadinya
pertempuran hebat antara Kesultanan Brunei dengan armada pasukan
Spanyol yang menyerang Kesultanan Brunei , namun berhasil dihalau oleh
pasuka Kesultanan Brunei
saat itu. Sepeninggal Sultan Syaiful Rijal, ia kemudian digantikan oleh anaknya
yang sulung bergelar Sultan Shah Brunei
(Sultan Brunei
ke-8). Sultan Shah Brunei ini tidak lama memerintah yaitu hanya setahun, wafat
yang kemudian digantikan oleh Adindanya yaitu anak laki-laki Sultan Syaiful
Rijal yang kedua dan bergelar Sultan
Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) yang memerintah dari tahun 1598 sampai 1659.
Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1659 M
dan kemudian digantikan oleh putranya yang sulung bergelar Sultan Abdul Jalilul Akbar(Sultan Brunei ke-10).
Sultan Abdul Jalilul Akbar mempunyai saudara kandung laki-laki yang bergelar
Pangeran Muda Tengah. Pangeran Muda
Tengah ini dikenal sebagai pemuda yang cerdas, gagah berani dan tampan
sehingga kemudian setelah Sultan Abdul Jalilul Akbar memerintah selama puluhan
tahun yaitu pada sekitar tahun 1621 M, timbul isu yang berkembang di Kesultanan
Brunei saat itu bahwa Pangeran Muda Tengah lebih pantas untuk menjadi Sultan
Brunei dibandingkan dengan Kakandanya yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang
sedang memerintah saat itu. Maka kemudian untuk menghindari terjadinya
perebutan Tahta Kesultanan Brunei, Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar kemudian
membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan
Brunei masa itu yaitu Tanah Sarawak untuk diberikan kepada Adindanya yaitu
Pangeran Muda Tangah agar Adindanya itu dapat menjadi Sultan di Sarawak. Usul
Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar ini kemudian diterima oleh Pangeran Muda
Tengah.
Maka kemudian berhijrahlah Pangeran Muda
Tengah dari Negeri Brunei beserta orang-orangnya yang terdiri dari sebagian
pemuka-pemuka Kesultanan Brunei saat itu dengan membawa 1000 orang Sakai
sebagai pasukan dan hulu balang. Selepas itu setelah menyiapkan segala sesuatunya
maka kemudian pada tahun 1625 M berdirilah Kesultanan Sarawak dengan Pangeran
Muda Tengah sebagai Sultan Sarawak yang pertama bergelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah dengan
pusat pemerintahan di sekitar Kota
Kuching sekarang ini. Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ini kemudian lebih
populer dengan sebutan Sultan Tengah
atau Raja Tengah yaitu mengambil dari gelar asalnya yaitu Pangeran Muda
Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kesultanan Sukadana pada tahun 1629 M.
Karena prilaku dan kemampuannya Baginda Sultan
Tengah ini sangat baik dan unggul sehingga Sultan Sukadana saat itu yaitu
Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin
(Digiri Mustika) sangat bersimpati dengan Baginda Sultan Tengah sehingga
kemudian Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin menjodohkan Adindanya yang dikenal
cantik jelita bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Maka
kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma. Dari perkawinan ini terlahirlah seorang anak
laki-laki yang diberi nama Sulaiman.Karena
sebab tertentu yang menyangkut keamanan di wilayah sekitar Selat Malaka saat
itu maka sejak menikah dengan Putri Surya Kesuma, Baginda Sultan Tengah beserta
orang-orangnya memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana selama
beberapa waktu. Sultan Tengah menetap di Kesultanan Sukadana hingga kemudian
dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma diperoleh 5 orang anak yaitu
Sulaiman, Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Wati.
Tidak berapa lama setelah kelahiran anaknya
yang ke-5 (Ratna Wati), Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk hijrah
dari Kesultanan Sukadana menuju tempat kediaman baru di wilayah Sungai Sambas,
sambil masih menunggu keadaan aman di wilayah Selat Malaka untuk kembali pulang
ke Kesultanan Sarawak. Di wilayah Sungai Sambas saat itu diperintah oleh
seorang Raja yang dikenal dengan nama Panembahan
Ratu Sapudak. Kerajaan Panembahan Ratu Sapudak saat itu mayoritas masih
hindu walaupun Ulama Islam telah pernah berkunjung ke Panembahan Ratu Sapudak,
dengan pusat pemerintahan di tempat yang sekarang disebut dengan name Kota
Lama, Kecamatan Teluk Keramat sekitar 36 km dari Kota
Sambas. Baginda Sultan Tengah beserta rombongannya kemudian disambut dengan
baik oleh Ratu Sapudak di Kota Lama dan dipersilahkan untuk tinggal di wilayah Panembahan Sambas ini.
Di Sambas inilah Sultan Tengah beserta
keluarga dan orang-orangnya menetap yaitu ditempat yang sekarang bernama
Kembayat hingga kemudian anaknya yang sulung yaitu Sulaiman beranjak dewasa.
Setelah dewasa, Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak perempuan bungsu dari
Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga Sulaiman dianugerahi gelaran
"Raden" menjadi Raden
Sulaiman. Raden Sulaiman kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas,
mendirikan kerajaan baru yang bernama Kesultanan
Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan Sambas pertama bergelar
Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun
1675 M. Melalui Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin I) inilah
yang kemudian menurunkan Sultan-Sultan
Sambas berikutnya secara turun temurun hingga sekarang ini.
Panembahan Ratu Sapudak
Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu
Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut
dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama
"Panembahan Sambas".
Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang
ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja
Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang
Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja laki-laki di
Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika
satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa
bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah
pimpinan Sultan Trenggono
(Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun
1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit
karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri
pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri
adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit
lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan
yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk
menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di
Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang
lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di
Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang
Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Pada saat itu
di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah sebelumnya
terbunuhnya Raja Tan Unggal oleh kudeta rakyat dan sejak itu masyarakat Melayu di
wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar
Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak
menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu
Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah
Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini
mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat
disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu.
Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya
setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban.
Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar
Ratu Sapudak.
Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah
datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya
datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap
dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut
dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan
untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat
Sri Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya
di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak.
Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang
Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan
Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu
dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan
anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom.
Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda
menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di
wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang
sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di
jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum Ratu
Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu.
Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama setelah itu
Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas
yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri dan
kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh
seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden
Bima.
Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir,
dan setelah melihat situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah
lagi telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu
sudah menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka
Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke
Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah
beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain
(Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan
Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah
didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan
Sarawak.
Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan
Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu
Buaya, Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya
sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda
Sultan Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan
Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan
Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian
dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang
hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma
kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal)
bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal Ayahandanya yaitu Sultan Tengah,
Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat
tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi
Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat
bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik
hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian
dilampiaskannya setelah Ayahanda Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah
meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden
Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang handal,
Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas
ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak.
Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas
mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda
semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang
sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden
Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga
kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang
kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan
ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak
melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena
Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat
semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai
kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat
kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya
kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga
dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan
oleh Ayahandanya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas
dan sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah
masuk Islam.
Kesultanan Sambas
Setelah sempat singgah di Kota Bangun selama sekitar 1 tahun,
rombongan Raden Sulaiman yang hijrah dari Panembahan Sambas (Kota Lama) ini
kemudian memutuskan untuk menetap dan membuat perkampungan yaitu di suatu
tempat di hulu Sungai Subah yang disebut dengan nama Kota Bandir.
Selama Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap
di Kota Bandir, dari hari kehari semakin banyak orang-orang dari pusat
Panembahan Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri ke tempat Raden Sulaiman di
Kota Bandir. Larinya penduduk Kota
Lama ini karena tidak tahan dengan tingkah laku adik Ratu Anom Kesumayuda yaitu
Raden Aryo Mangkurat yang selalu membuat keonaran dan kekacauan di dalam negeri
Panembahan Sambas. Hal ini menyebabkan semakin hari penduduk Kota Lama semakin sedikit sebaliknya penduduk
Kota Bandir semakin banyak.
Setelah lebih dari 3 tahun menetap di Kota
Bandir, Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara tiba-tiba menemui Raden Sulaiman
dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan rombongan besar pengikutnya
sedang dalam perjalanan hijrah dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk
kemudian mencari tempat menetap baru di Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu
Anom Kesumayuda tidak sanggup mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo
Mangkurat yang banyak membuat kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu
Anom Kesumayuda. Untuk itu Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan
kekuasaannya atas wilayah Sungai Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan
mandat) kepada Raden Sulaiman untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai
Sambas. Raden Sulaiman kemudian meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda
atas penyerahan kekuasaan atas wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti
oleh Ratu Anom Kesumayuda dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti
berupa 3 buah meriam lela.
Sekitar 3 tahun setelah menerima mandat ini
dan setelah berembuk dengan orang-orangnya serta mempersiapkan segala
sesuatunya, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan kerajaan baru
yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya namun bukan berpusat di
Kota Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru muara Sungai Teberrau
yang disebut dengan nama Lubuk Madung.
Maka kemudian pada tahun 1675 M
berdirilah kerajaan baru yang bernama Kesultanan
Sambas berpusat di Lubuk Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan
pertama dari Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Gelar ini mengikuti gelar dari pak
mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Sukadana (Sultan
Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).
Dalam perkembangan awalnya lingkungan di pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas yang baru berdiri ini sebagian besar adalah
orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas yang telah masuk Islam ini sehingga
kemudian adat istiadat di lingkungan Keraton Kesultanan Sambas saat itu
didominasi oleh adat istiadat dan budaya Jawa seperti penamaan gelar-gelar
Kebangsawanan dan nama-nama keluarga Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa.
Namun dalam perkembangan selanjutnya Kesultanan Sambas juga kemudian berhasil
merangkul dan membaurkan masyarakat Melayu-Dayak yaitu masyarakat Melayu yang
berasimilasi dengan masyarakat Dayak pesisir yang mana kedua suku bangsa ini
telah lebih dahulu mendiami daerah pesisir laut di sekitar wilayah Sungai
Sambas ini, dengan masyarkat Jawa peninggalan Panembahan Sambas yang kemudian membentuk
masyarakat Melayu Sambas hingga saat ini.
Selama menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung,
Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan
negeri-negeri leluhurnya yaitu Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei . Kesultanan
Sukadana adalah leluhur dari pihak Ibundanya yaitu Putri Surya Kesuma (Adik
dari Sultan Sukadana yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika)
sedangkan Kesultanan Brunei adalah leluruh dari pihak Ayahandanya yaitu Sultan
Tengah (anak dari Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan), sehingga
kemudian pada masa pemerintahan Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I
ini terjalin hubungan yang sangat akrab dan baik antara Kesultanan Sambas
dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sukadana disamping juga
mengembangkan hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan
lainnya seperti Kerajaan Landak
dan Kesultanan Trengganu di Semenanjung Melayu.
Setelah hampir 10 tahun memerintah Kesultanan
Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I kemudian
mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu Raden Bima yang sudah dewasa untuk
menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas berikutnya. Maka Raden Bima
kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke Kesultanan Sukadana dan
Kesultanan Brunei .
Di Kesultanan Sukadana Raden Bima kemudian menikah dengan adik dari Sultan
Sukadana saat itu yaitu Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Putri Ratna
Kesuma. Dari pernikahan ini Raden Bima memperoleh seorang anak laki-laki yang
diberi nama Raden Mulia atau Meliau. Dari Kesultanan Sukadana Raden Bima pulang
ke Kesultanan Sambas dan kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Brunei .
Di Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang
sangat mesra dari Sultan Brunei saat itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan
para kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat Baginda Sultan Tengah yang ada di
Brunei. Berbagai hadiah berupa berbagai alat kebesaran kerajaan diberikan
Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut anugrah gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" yang
diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima apabila nantinya
Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya menggantikan Ayahandanya yaitu
Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I. Penganugrahan gelaran
"Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima ini dilakukan mengikut
adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang bertempat di Istana Kesultanan Brunei pada masa
itu.
Sekembalinya Raden Bima dari Brunei yaitu
ketika Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I telah memerintah Kesultanan
Sambas selama sekitar 10 tahun, maka kemudian pada tahun 1685 M, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I
mengundurkan diri dari Tahta dan mengangkat putranya yaitu Raden Bima sebagai
Sultan Sambas ke-2 dengan gelar Sultan
Muhammad Tajuddin. Gelaran sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh
Sultan Brunei
yaitu Baginda Sultan Muhyiddin.
Sekitar satu tahun setelah menjadi Sultan
Sambas ke-2, Raden Bima / Sultan Muhammad Tajuddin kemudian atas persetujuan
dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat dipercabangan 3 sungai yang kemudian
dikenal dengan nama "Muare
Ulakkan" yaitu pada sekitar tahun 1687 M. Muare Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai
yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah.
Dari sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi
lokasi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas secara terus menerus selama sekitar
250 tahun hingga berakhirnya Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.
Pangeran Anom
Pangeran Anom adalah salah seorang anak dari
Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden
Pasu. Ketika Ayahnya (Sultan Umar Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2
pemerintahannya, maka Abang Pangeran Anom yang bernama Raden Mantri menggantikan
Ayahnya dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Sultan
Abubakar Tajuddin I ini dengan Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu
bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin Ii tetapi berlainan ibu, Sultan Abubakar
Tajuddin I adalah anak dari istri pertama (permaisuri) sedangkan Pangeran Anom
adalah anak istri Sultan Umar Aqamaddin II yang ke-2.
Pangeran Anom kemudian menjadi Panglima Besar
Kesultanan Sambas yang sekaligus juga memimpin satu armada Angkatan Laut
Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal layar bertiang 3 lengkap dengan
meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh perahu pencalang. Armada Laut
Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom
bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan
Abubakar Tajuddin I.
Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini
bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu
yaitu garis pantai yang membentang dari mulai Tanjung Datuk di utara (diatas
Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah selatan. Armada Angkatan Laut
Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan para bajak laut
terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan pembakangan dari
kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak untuk melakukan
aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan
induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana kapal-kapal Inggris
ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang dipelabuhan-pelabuhan
Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas
tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas. Kongsi-Kongsi itu
adalah perkumpulan orang-orang China
yang berkelompok beradasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China
ini didatangkan oleh Sultan Sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan
pertambangan emas yang tersebar di wilayah Kesultanan Sambas seperti
Monteraduk, seminis, Lara, Lumar dan kemudian juga Pemangkat.
Walaupun telah dibentuk armada angkatan laut
Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan angkuhnya tetap
melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui
pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan induk ini
merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini sejak zaman
Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu apabila ada
kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu akan
digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila kapal
itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di tawan dan
seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang memiliki
wilayah itu.
Tetapi orang-orang eropa khususnya Inggris ini
sering meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk
kasus ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya
pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu
dengan armada angkatan laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom
ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan
Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya
dapat dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Hal ini kemudian berlanjut terus hingga
kemudian menimbulkan semacam kondisi perang antara Kerajaan Inggris dengan
Kesultanan Sambas dimana bila di mana-mana perairan ditemukan kapal Inggris
pasti akan diserang oleh armada Kesultanan Sambas di bawah Pangeran Anom ini
dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah beberapa nama kapal Inggris
yang telah ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan Sambas ini yaitu kapal
tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan nama Commerce (yang
oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman
Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III.
Tanggal 5
Desember 1845
Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq
dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari
1848 putera sulung
beliau yang bernama Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan
gelar Pangeran Adipati Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II
diasingkan ke Jawa
oleh pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).
Pangeran Adipati
Pangeran Adipati adalah gelar penghormatan
untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang dimaksud ini adalah Pangeran Adipati
Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar
Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini adalah Sultan Sambas terkahir yang
berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas karena pada masa pemerintahannyalah
untuk pertama kalinya Belanda melakukan kudeta terselebung terhadap
pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar Tajuddin II ini yang
bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas ke-12 dengan gelar Sultan
Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II terpaksa turun dari tahta
Kesultanan Sambas (tahun 1855 M)telah ada kesepakatan antara Sultan Abubakar
Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah Raden Tokok' menjadi
Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya adalah anak dari
Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin karena dimasa
Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat anaknya itu
sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan Belanda mulai
berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari Sultan Sambas
ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh pemerintahan dari
Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II) Sultan-Sultan
Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang masa itu tidak
ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar manapun termasuk
Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di Kesultanan Sambas pada
tahun 1819 M, namun saat itu Sultan Sambas masih mengendalikan penuh perwakilan
Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai berpengaruh di pemerintahan
Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas ke-12 itu yaitu Raden Tokok'
/ Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M
setelah dengan dukungan Belanda membuat kudeta terselebung terhadap Abang
Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas ke-11 (sebelas)yaitu Sultan
Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq). Setelah menyelesaikan pendidikannya pada
Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun 1861, Pangeran Adipati
Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal
16 Agustus
1866 beliau diangkat
menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia
mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat)
dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai
Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik
Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad Aryadiningrat.
Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati
Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin II). Sebagai
penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim. Setelah
Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa
sudah lanjut usia, maka kemudian diangkatlah anaknya yaitu Raden Muhammad
Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan
gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.
Kedatangan Jepang
Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Baginda
Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas
diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran
Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15
dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke
Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang
korban keganasan pasukan Jepang ini yaitu bersama dengan sebagian besar
Raja-Raja lainnya yang ada di wilayah Borneo {Kalimantan ) barat ini di bunuh pasukan Jepang di daerah
Mandor. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah Sultan Sambas yang
terakhir. Setelah Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin terbunuh oleh
Jepang, pemerintahan Kesultanan Sambas dilanjutkan oleh sebuah Majelis
Kesultanan Sambas hingga kemudian dengan terbentuknya Negara Republik
Indonesia, pada tahun 1956 M, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan
untuk bergabung dalam Negara Republik Indonesia itu.
Peninggalan Kesultanan Sambas
Peninggalan dari jejak Kesultanan Sambas yang
masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas, Istana Sultan
Sambas, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama hingga Sultan
Sambas ke-14 serta sebagian alat-alat kebesaran Kerajaan seperti tempat tidur
Sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian
kebesaran Sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah meriam canon di depan
istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Tiongkok dan
2 buah kaca kristal dari Kerajaan Perancis dan Belanda. Sebagian
besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau
terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih
terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan
Sambas ini bertebaran di wilayah Borneo (Kalimantan ) Barat ini baik di Kota Sambas, Singkawang dan
Pontianak yang
sebagiannya masih menggunakan gelaran Raden.
Sultan-Sultan Sambas
Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :
15.
Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944) ( Sultan Sambas Terakhir )
16.
Pangeran Ratu Muhammad
Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944 - 1984) ( Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas )
17.
Pangeran Ratu Winata
Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas )
18.
Pangeran Ratu Muhammad
Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kesuma (2008 hingga sekarang)
sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas.
Gelar, Sebutan Penghormatan dan Jabatan di
Kesultanan Sambas
·
Seluruh Sultan Sambas
disamping mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad
Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II dan
lainnya.
·
Sultan dengan sebutan
penghormatan: Sri Paduka al-Sultan
Tuanku (gelar Sultan) ibni
al-Marhum (nama dan gelar bapak), Sultan dan Yang di-Pertuan Sambas, dengan panggilan Yang Mulia.
·
Sultan yang
mengundurkan diri dari Tahta mempunyai sebutan kehormatan "Yang Dipertuan Sultan" dan
menggunakan nama gelarannya sewaktu menjadi Sultan misalnya : Yang Dipertuan
Sultan Muhammad Shafiuddin II.
·
Permaisuri: Sri Paduka Ratu (gelar).
·
Putra Mahkota (Pewaris
Resmi Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan "Sultan Muda" atau "Pangeran Ratu" atau "Pangeran Adipati" namun tidak mempunyai gelar, jadi
langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya
dipilih dari anak laki-laki sulung dari Permaisuri yang disebut dengan nama "Anak Gahara".
·
Anak Sulung Sultan
dari istri bukan Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan "Pangeran Muda".
·
Dibawah Sultan Sambas
terdapat 4 Jabatan Wazir dengan
sebutan kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran yaitu :
Wazir I bergelar Pangeran Bendahara Sri
Maharaja, Wazir II bergelar Pangeran
Paku Negara, Wazir III bergelar Pangeran
Tumenggung Jaya Kesuma
dan Wazir IV bergelar Pangeran Laksmana.
Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri Maharaja)dan
keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan mempunyai nasab
yang sama.
·
Dibawah Wazir terdapat
Menteri-Menteri Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" yang diantaranya bergelar Pangeran Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja
dan lainnya.
·
Dibawah Pangeran
terdapat Chateria Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" namun tidak mempunyai nama gelaran jadi
langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya.
·
Anak-anak dari
Pangeran, Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda semuanya
mempunyai sebutan kehormatan "Raden".
·
Anak-anak dari Raden
mempunyai sebutan kehormatan "Urai".
"Urai" dapat kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu
pengangkatan secara resmi oleh Sultan.
Kesultanan Kutai atau lebih
lengkap disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan
bercorak Islam
yang kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi pada
tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan
Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota
H.
Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara
ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22
September 2001.
Sejarah
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada
awal abad
ke-13 di daerah yang bernama Tepian
Batu atau Kutai Lama (kini menjadi
sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama
yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini
disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Negara Kretagama, yaitu
salah satu daerah taklukan di Pulau Tanjungnegara oleh Patih Gajah Mada
dari Majapahit.
Pada abad ke-16,
Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa
berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di
Muara Kaman.
Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan
kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17,
agama Islam yang
disebarkan Tuan Tunggang Parangan
diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah
beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Adji
Mohamad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai pertama yang menggunakan nama
Islami. Dan sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara
pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.
Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan
menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi
Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan
Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal
Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota
kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji
Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan
menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera
mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai.
Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris,
Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di
Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji
Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo
yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu
terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan
terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat
dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut
kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji
Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan
pada tanggal 28 September
1782 . Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah
kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung
yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan
sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara
dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada
tahun tersebut.
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan
James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai
untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak
eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M.
Salehuddin mengizinkan Murray
untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini.
Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam kearah
istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat
dihindari. Armada pimpinan Murray
akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari
pihak armada Murray, dan Murray
sendiri termasuk diantara yang tewas tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai
ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap
Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian
dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah
komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di
Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan A.M.
Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang
Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur
melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai
Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut
dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M.
Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa
Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia
Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di
Banjarmasin.
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi
administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan .
Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang
tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura.
Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda
menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan
politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman
(1850-1899).
Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara
kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati
bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia
Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di
Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten.
Menten juga meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai.
Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan
Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas
pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan
digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katholik pertama
didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan
kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan
Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun
waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu
putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan
Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji
Pangeran Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget
dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Parikesit.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai
berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra
Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara
mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai
telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis
untuk masa itu.
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan
istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun
waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada
tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang
memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Era Kemerdekaan
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah
Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten
berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun
1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan",
wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni: 1.
Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong 2. Kotapraja Balikpapan
dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di
Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur
Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra
tersebut, yakni: 1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai 2.
Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda 3. A.R. Sayid Mohammad
sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960
bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus
DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima
pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad
Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai,
Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota
Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji
Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs.
H. Syaukani HR, MM berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan
maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian
warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia .
Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk
mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat
wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai
Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja
Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk
menyampaikan maksud diatas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui
dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai
yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001 , Putra Mahkota Kesultanan
Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan
menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin
II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan
pada tanggal 22 September
2001 .
Wilayah
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959,
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang
sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di
propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:
1.
Kabupaten Kutai
Kartanegara
2.
Kabupaten Kutai Barat
3.
Kabupaten Kutai Timur
4.
Kota Balikpapan
5.
Kota Bontang
6.
Kota Samarinda
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan
Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.
Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai
Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah
Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya
Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU
No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton Kesultanan
Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya
ada pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di
Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman
Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia
yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi
pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat
dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899,
Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin
(1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari
bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua
lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun
menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun
1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan
Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan bangunan beton
yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga
kemudian menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan
keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya
Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah
fisik bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni
pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit
beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah
dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan
telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman
kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah
diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir
pada tahun 1960, bangunan keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat
kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian
diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember
1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum
Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan
kesultanan Kutai Kartanegara, diantaranya singgasana, arca, perhiasan,
perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno
dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat
makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan
keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama
dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini
diantaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan
Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di
lingkungan keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung
Gandek, Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001 , putra mahkota H. Aji
Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali
Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan
warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia agar
tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun
sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara yang
sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Hasanuddin
ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa
pemerintahan Sultan Alimuddin.
[sunting] Gelar Kebangsawanan
Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah
Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar
kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:
·
Aji Sultan: digunakan
untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan
·
Aji Ratu: gelar yang
diberikan bagi permaisuri Sultan
·
Aji Pangeran: gelar
bagi putera Sultan.
·
Aji Puteri: gelar bagi
puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
·
Aji Raden: gelar yang
setingkat diatas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria
bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
·
Aji Bambang: gelar
yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh
Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
·
Aji: gelar bagi
keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan
Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar
Aji kepada anak-anaknya.
Jika pria Aji menikah dengan wanita dari
kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku
lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji
menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya
tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah
dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab
(Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:
·
Aji Sayid: gelar ini
diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan
Arab.
·
Aji Syarifah: gelar
ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan
Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap
setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang
maupun Aji Raden.
- Kesultanan Berau (1400)
Kesultanan Berau adalah
sebuah kerajaan
yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten
Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14
dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit
Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya
bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat
pemerintahannya berada di Sungai Lati,
Kecamatan Gunung Tabur.[1]
Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua
yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
Raja pertama
Aji Raden Suryanata Kesuma, dikenal sebagai
seorang raja yang bijak dalam menjalankan pemerintahannya selama 32 tahun
sekitar tahun 1400
hingga 1432[1]
ada pula yang menyatakan dari 1377 sampai 1426[2]
Dibawah pemerintahannya, Baddit Dipattung berhasil membawa rakyatnya sejahtera
serta menyatukan beberapa wilayah pemukiman yang dikenal oleh masyarakat Berau
dengan sebutan "Banua", di antaranya Banua Merancang, Banua
Pantai, Banua Kuran, Banua Rantau Buyut dan Banua Rantau
Sewakung. Dalam catatan sejarah, Aji Suryanata Kesuma dikenal sangat
berpengaruh dan berwibawa, sehingga dia adalah figur raja yang disegani kawan
dan ditakuti lawan. Nama Raja Berau yang pertama ini, kemudian diabadikan
menjadi nama Korem 091/Aji Surya Natakesuma
(ASN).
- Kesultanan Sambaliung (1810)
Kesultanan
Sambaliung
adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan
Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.[1]
Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang
lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah
keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau
pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas
mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan
satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara
bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang
membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan terkadang menimbulkan
insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran
Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung
Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu
Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).
- Kesultanan Gunung Tabur (1820)
Kesultanan Gunung
Tabur
adalah kerajaan
yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan
Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur
pada sekitar tahun 1810-an.[1]
Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten
Berau, provinsi Kalimantan Timur.
Sultan Gunung Tabur
Sultan-sultan Gunung Tabur diantaranya adalah
sebagai berikut:[2]
·
1820 - 1834 - Zainul
Abidin II bin Badruddin
·
1834 - 1850 - Ayi
Kuning II bin Zainul Abidin
·
1850 - 1876 -
Amiruddin Maharaja Dendah I
·
1876 - 1882 -
Hasanuddin II Maharaja Dendah II bin Amiruddin
·
1882 - ... - Si Atas
·
... - 1921 - Maulana
Ahmad (bupati)
·
1921 - ... Muhammad
Khalifatullah Jalaluddin
- Kesultanan Pontianak (1771)
Kesultanan Pontianak didirikan
pada tahun 1771 oleh
penjelajah dari Arab Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman
al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali
ar-Ridha. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan,
pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri dari
Sultan Banjar. Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak,
kemudian mendirikan Istana Kadariah dan
mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada
tahun 1779.
Daftar Sultan Pontianak
Sultan-Sultan
|
||
No
|
Sultan
|
Masa pemerintahan
|
1
|
||
2
|
Syarif Kasim
Alkadrie
|
|
3
|
Syarif Osman
Alkadrie
|
|
4
|
Syarif Hamid
Alkadrie
|
|
5
|
Syarif Yusuf
Alkadrie
|
|
6
|
Syarif Muhammad
Alkadrie
|
|
7
|
Syarif Thaha
Alkadrie
|
|
8
|
||
9
|
Syarif Abubakar
Alkadrie
|
-
|
Kerajaan Tidung atau
dikenal pula dengan nama Kerajaan
Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung
di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau
Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di
kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di
Tanjung Palas.
Dynasty Tengara
dahulu kala kaum suku Tidung yang bermukim
dipulau Tarakan, popularjuga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka
mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara.
Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa dipesisir timur pulau Tarakan yakni,
dikawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno
(The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah
kepesisir barat pulau Tarakan yakni, dikawasan Tanjung Batu, kira-kira pada
tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap dipesisir barat yakni,
kekawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah
lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, kekawasan Pimping bagian
barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali
bertakhta kira-kira mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
Raja-raja dari Dynasty Tengara
·
Amiril Rasyd Gelar
Datoe Radja Laoet (1557-1571)
·
Amiril Pengiran Dipati
I (1571-1613)
·
Amiril Pengiran Singa
Laoet (1613-1650)
·
Amiril Pengiran
Maharajalila I (1650-1695)
·
Amiril Pengiran
Maharajalila II (1695-1731)
·
Amiril Pengiran Dipati
II (1731-1765)
·
Amiril Pengiran
Maharajadinda (1765-1782)
·
Amiril Pengiran
Maharajalila III (1782-1817)
·
Amiril Tadjoeddin
(1817-1844)
·
Amiril Pengiran
Djamaloel Kiram (1844-1867)
·
Datoe Maoelana/Ratoe
Intan Doera (1867-1896)
·
Datoe Adil (1896-1916)
Hubungan dengan Kesultanan Bulungan
Di antara kedua kerajaan tersebut terdapat
hubungan yang erat, sebagaimana layaknya seperti orang bersaudara karena saling
diikat oleh tali Perkawinan. Meskipun demikian proses saling mempengaruhi tetap
berjalan secara halus dan tersamar, karena salah satu diantaranya ingin lebih
dominan dari yang lainnya. Dengan Demikian tidak dapat dielakkan bahwa
persaingan terselubung antara keduanya merupakan masalah laten yang adakalanya
mencuat kepermukaan. Dalam hal ini pihak penjajah Hindia
Belanda cukup jeli memanfaatkan masalah itu, maka semakin serulah hubungan
keduanya, bahkan menjadi konflik politik yang tajam, sehingga akhirnya
tergusurlah Kerajaan dari Suku kaum Tidung tersebut.
Demografi kawasan
Kawasan Kalimantan Timur bagian utara secara
umum penduduk aslinya terdiri dari tiga jenis suku bangsa yakni : Tidung,
Bulungan dan Dayak yang mewakili tiga kebudayaan yaitu Kebudayaan
Pesisir, Kebudayaan Kesultanan dan Kebudayaan Pedalaman.
Kaum suku Tidung umumnya terlihat banyak
mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau, ada juga sedikit ditepian sungi-sungai
dipedalaman umumnya dalam radius muaranya. Kaum suku Bulungan kebanyakan berada
di kawasan antara pedalaman dan pantai, terutama dikawasan Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Sedangkan
kaum suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan Pedalaman. Kalangan suku Dayak yang
terdengar dan Popular adalah bernama suku Dayak Kenyah. Suku
Dayak memiliki banyak sub-suku bangsa mereka tersebar dikawasan pedalaman dan
dan memiliki berbagai macam nama.
Suku Tidung
Adapun mengenai suku kaum Tidung, mata
pencaharian andalannya adalah sebagai Nelayan, disamping itu juga bertani dan
memanfaatkan hasil hutan. Berdasarkan dokumen dan informasi tertulis maupun
lisan yang ada bahwa, tempo dulu dikawasan Kalimantan Timur belahan utara
terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni : Kerajaan dari kaum suku Tidung
dan Kesultanan dari kaum suku Bulungan. Kerajaan dari kaum suku Tidung
berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu, Sedangkan Kesultanan
Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.
- Kesultanan Bulungan(1731)
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan
yang terletak di wilayah Kabupaten Bulungan, Kabupaten
Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota
Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja
pertama bernama Wira Amir gelar Amiril
Mukminin (1731–1777), dan Raja
Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan
Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).[1]
Sultan Bulungan
Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar
berikut masih belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang
tidak diketahui.[2]
·
Aji Muhammad bin
Muhammad Zainul Abidin (...-...)
·
Muhammad Alimuddin
Amirul Muminin Kahharuddin I bin Muhammad Zainul Abidin (jabatan ke-1) (...-1848)
·
Muhammad Alimuddin
Amirul Muminin Kahharuddin I bin Muhammad Zainul Abidin (jabatan ke-2) (1866-1873)
·
Muhammad Kahharuddin
II bin Maharaja Lela (1874-...)
·
Maulana Ahmad
Sulaimanuddin (...-1930)
·
Maulana Muhammad
Jalaluddin (1930-...)
No comments